Senin, 05 September 2011

MEMPERINGATI HARI KEMATIAN /HAUL UNTUK ARWAH YANG MENINGGAL BUKAN DARI SYARI'AT ISLAM


By : musni japrie


Menyelenggarakan kenduri bagi arwah yang telah meninggal atau sering juga disebut haulan yang lazim diselenggarakan oleh sebagian terbesar masyarakat muslim di Indonesia dianggap salah satu bagian dari ajaran islam untuk mengirimkan pahala bacaan beberapa surah al-Qur’an bagi arwah yang telah meningga dunia.
Penyelenggaraan peringatan tersebut dilakukan oleh kebanyakan kalangan masyarakat Islam dikarenakan adanya contoh yang mereka ikuti dari apa yang dilakukan oleh orang-orang yang mereka jadikan panutan seperti ustadz, tokoh-tokoh agama bahkan para kiayi dari pondok-pondok pesantren yang rata-rata bermazhab Syafi’i. Sehingga berkembanglah anggapan ditengah masyarakat bahwa kenduri kematian atau haul untuk arwah yang meninggal adalah merupakan bagian dari apa yang difatwakan dan sejalan dengan tuntunan yang berasal dari Imam Syafi’i. Karenanya masyarakat menganggap bahwa kenduri peringatan kematian atau haul bagi arwah yang meninggal adalah bagian dari syari’at Islam.
Tetapi apabila kita secara jujur mencari dari sumber kitab yang dijadikan rujukan bagi pengikut mazhab Syafi’i yaitu Al-Umm, kitab fiqih pegangan mazhab
Syafi’i, maka di dalamnya samasekali tidak terdapat satu kalimatpun yang menyebutkan adanya perintah atau anjuran dari Imam Syafi’i yang berkenaan dengan
kenduri peringatan kematian atau haul bagi arwah yang meninggal yang didalamnya dilakukan pembacaan beberapa surah al-Qur’an yang pahalanya dikirimkan untuk si arwah yang meninggal.
Apa yang dilakukan oleh sebagian terbesar masyarakat muslim yang bermazhab Syafi’i melakukan kenduri peringatan kematian atau haul arwah yang meninggal ternyata sangat bertolak belakang dengan apa yang difatwakan oleh Imam Syafi’i , imam panutan mazhab Syafi’i. Imam Syafi’i rahimahulaah dalam kitab yang disusun beliau dengan nama “AL-UMM “ tidak merekomendasikan penyelenggaraan kenduri kematian atau haul bagi arwah yang meninggal.
Simaklah apa yang ditulis oleh Imam Syafi’I rahimahullah dalam kitab beliau
Al-Umm :
“Aku suka jiran si mati atau orang yang mempunyai pertalian keluarga dengannya
(keluarga jauh) memberi makan kepada ahli mayat, yang mengenyangkan mereka
pada hari dan malamnya. Kerana itu adalah sunnat dan ingatan (zikir) yang mulia,
dan ianya adalah perbuatan golongan yang baik-baik sebelum dan selepas kita.
Ini kerana apabila tiba berita kematian Ja’far, Rasulullah sallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda: “Buatlah kamu makanan kepada keluarga
telah datang perkara yang mengharukan kepada mereka.” (Al-Umm)

Selain itu dalam kitab Al-Umm Imam Syafi’I juga menyebutkan :

“Dan aku membenci membuat perkumpulan yaitu berkumpul, walaupun dalam majlis itu tidak terdapat tangisan (ratapan) kerana sesungguhnya perkara itu (berkumpul) akan mengembalikan kesedihan dan memberikan beban berdasarkan atsar yang telah lalu.” (Al-Umm)

Yang dimaksudnya atsar oleh Imam Asy-Syafi’i tersebut adalah atsar
yang diriwayatkan oleh Jarir bin Abdulullah Al-Bajali radhiallahu ‘anhu:

“Kami mengira berhimpun orang ramai kepada ahli si mati dan membuat makanan
selepas pengkebumiannya adalah sebahagian dari ratapan kematian.”
(Hadis riwayat Ahmad dalam Musnadnya; Syu’aib Al-Arnauth berkata: Sahih
dalam Takhrijnya ke atas Musnad Ahmad, no: 6905)

Salah seorang ulama besar dan terkenal dari mazhab Syafi’i yaitu
Imam An-Nawawi rahimahullah mengulas perkataan Imam Asy-Syafi’i di atas tadi dengan mengatakan:

“Pengarang (Imam Asy-Syafi’i) dan ulama-ulama yang lain berpendapat berdasarkan
dalil yang lain bahwa perbuatan itu (yakni mengadakan perkumpulan) adalah merupakan
perkara yang baru.” (Al-Majmu’)

Selain itu Imam An-Nawawi juga berkata:

“Dan adapun berkumpul untuk takziah, maka Asy-Syafi’i dan pengarang Al-Musannif,
mereka telah menetapkan bahwa perbuatan itu adalah perkara yang dibenci.
Syeikh Abu Hamid telah menukilkan dalam At-Ta’liq dan ulama yang lain daripada
nas Asy-Syafi’i berkata: Yakni duduk takziah yaitu keluarga si mati berkumpul di rumah,
lalu mereka menunggu orang yang ingin bertakziah. Beliau berkata: Mereka mengatakan:
Bahkan hendaklah mereka pergi untuk berusaha memenuhi keperluan hidup mereka.
Maka barang siapa yang serempak menemui mereka, maka bolehlah dia bertakziah
kepada mereka. Tidak ada perbedaan di antara kaum lelaki dan kaum perempuan
pada larangan duduk berkumpul untuk bertakziah
.” (
Demikianlah sunnah dalam berlakunya kematian adalah memberi makanan kepada keluarga si mati kemudian mengucapkan takziah kepadanya.Inilah pendapat Imam Asy-Syafi’i dan jumhur ulama

Adapun amalan membaca Al-Qur’an untuk dihadiahkan kepada si mati. Maka dalam masalah ini Imam An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah menjelaskan
tentang pendapat jumhur dalam mazhab Syafi’i Yaitu kata beliau:

“Dan adapun pembacaan Al-Qur’an, maka yang masyhur dari mazhab
Syafi’i bahawa ianya tidak sampai kepada mayat sedangkan sebahagian
sahabatnya mengatakan: Pahalanya sampai kepada mayat.” (Syarah An-Nawawi ‘ala Muslim,)


Firman Allah Ta’ala:

Dan bahawasanya seseorang manusia tiada memperoleh selain apa
yang telah diusahakannya.” (Surah An-Najm: 39)

Al-Hafiz Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata:
“Dan melalui ayat yang mulia ini, Imam Asy-Syafi’ rahimahullah
dan para pengikutnya mengistinbatkan hukum bahawa pahala bacaan
(Al-Qur’an) yang dihadiahkan kepada orang mati tidak sampai kepadanya karena
bukan dari amal mereka dan bukan usaha mereka (orang mati). Oleh karena itu,
Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah mensunnahkan umatnya
dan menganjurkan mereka melakukan perkara tersebut, serta tidak pula
menunjukkan kepadanya (menghadiahkan bacaan kepada orang mati) walaupun
dengan satu nas (dalil).” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim)

Al-Haitami rahimahullah yang merupakan ulama dalam mazhab Syafi’i berkata dalam Al-Fatawa Al-Kubra Al-Fiqhiyah :

Si mati tidak boleh dibacakan apa pun berdasarkan keterangan yang mutlak
dari ulama mutaqaddimin (terdahulu) bahawa bacaan (yang pahalanya dikirimkan
kepada si mati) adalah tidak dapat sampai kepadanya, sebab pahala bacaan itu
adalah untuk pembacanya sahaja. Sedangkan hasil amalan tidak dapat dipindahkan.
Allah berfirman : “Dan bahawasanya seseorang manusia tiada memperolehselain telah diusahakannya.” (Al-Fatawa Al-Kubra Al-Fiqhiyah,)

Ulama-ulama terdahulu lainnya dari mazhab Syafi’i khususnya yang
ulama Nusantara mengemukan tentang makan-makan ditempat keluarga yang meninggal sebagai berikut :

1 - Dalam Kitab Furu’il Masa’il karangan Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani )
disebutkan :

“Dan demikian lagi yang dikerjakan manusia dengan barang yang dinamakan dia
dengan kaffarah dan daripada dikerjakan wahsyah yakni berhimpun memberi makan
awal malam kemudian daripada ditanam mayat dan tujuh harinya dan dua puluh
dan empat puluh dan umpamanya, yang demikian itu haramkah atau makruh
atau harus. (Maka dijawabnya) Maka adalah segala yang tersebut makruh yang dicela pada syarak kerana tegah pada syarak kata syeikh Ibn Hajar tiada sah wasiatny
a.”

2 – Dalam Kitab Sabil Al-Muhtadin yang dikarang oleh Syeikh Muhammad
Arsyad bin Abdullah al-Banjari, beliau mengemukan sebagai berikut :
“Dan makruh lagi bid'ah bagi yang kematian memperbuat makanan yang disukanya
manusia atas makan dia dahulu daripada menanam dia dan kemudian daripadanya
seperti yang telah teradat dan demikian lagi makruh lagi bid'ah bagi segala
mereka yang diserunya perkenankan seruannya”

Peringatan hari kematian dengan menyelenggarakan selamatan/kenduri bagi arwah yang
telah meninggal tidak disyari’atkan di dalam Islam, tetapi di Indonesia oleh sebagain kalangan sepertinya sudah dianggap seperti syari’at, padahal tradisi menyelenggarakan peringatan hari kematian berupa kenduri itu diwarisi dari tradisi leluhur sebelum Islam masuk ke Indonesia. Agar peringatan tersebut dapat diterima di kalangan umat islam diberilah tambahan dengan bacaan-bacaan yang diambil dari al-Qur’an seperti surah Yasin, Al-Fatihah, al-Ikhlas, An-Nas ,Al-Falak, juga tidak ketinggalan dzikir-dzikir berupa Takbir, Tasybih dan Takhmid. Kemudian ditutup dengan pembacaan do’a arwah.
Di kalangan masyarakat muslim memperingati hari kematian atau haulan atau juga kadang-kadang disebut juga tahlilan dianggap sebagai kegiatan untuk mengirimkan pahala dari bacaan-bacaan ayat-ayat al-Qur’an sehingga lahirlah anggapan bahwa haul/tahlilan merupakan bagian dari syari’at islam. Namun karena tidak ada satupun catatan riwayat bahwa Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam, para sahabat, para tabi’in dan para tabi’ut tabi’in dan ulama salafus shalih yang pernah melakukannya maka jadilah kegiatan memperingati hari kematian atau haul untuk arwah yang telah meninggal sebagai bid’ah. Sedangkan bid’ah itu sangat terlarang dan dikatakan oleh Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam adalah sesat dan sesat itutempoatnya dineraka (Wallaahu’alam )

Dikutip dari berbagai sumber

1 komentar: