Senin, 23 Januari 2012

MASIH ADAKAH RASA MALU




Dunia modern sekarang ini semakin menunjukkan kecemerlangannya, ilmu pengetahuan dan teknologi kian menunjukkan kecanggihannya, tetapi sangat disayangkan manusia-manusia yang bercokol diatas bumi ini hanyut dalam arus moderenisasi dengan keangkuhannya semakin jahil dari ilmu agama. Hal ini ditunjukkan dengan terjadinya degredasi moral/akhlak yang terlihat dengan nyata disetiap sudut dan pelosok. Akhlak yang miskin akan syari’at semakin meluncur jatuh ketitik nadir sehingga sepertinya sulit untuk bangkit kembali.

Oleh karena itu di zaman ini, suatu zaman yang rasa malu sudah berkurang bahkan hilang bagi sebagian orang, kemungkaran merajalela, hal-hal yang memalukan dilakukan dengan terang-terangan bahkan keburukan dinilai sebagai sebuah kebaikan. Bahkan sebagian orang merasa bangga dengan perbuatan tercela dan hina .

Perhatikanlah sebagian terbesar dari manusia, baik mereka yang termasuk kalangan atas, menengah maupun kalangan akar rumput sudah tidak lagi sungkan-sungkannya memuaskan selera dan hawa nafsu mereka untuk memenuhi aneka bentuk kebutuhan mereka dengan tanpa mengindahkan lagi syari’at yang telah digariskan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Mereka turutkan tuntutan hawa nafsu ( dalam arti yang luas ) tidak lagi merasa malu baik kepada Allah subhanahu wa ta’ala ataupun kepada sesama manusia. Sehingga timbullah pertanyaan ; masih adakah rasa malu itu pada setiap jiwa. Sebagai contoh banyaknya orang yang memperdagangkan minuman keras dan yang mengkonsumsinya, banyaknya orang-orang yang meninggalkan sholat fardu, banyaknya kasus pencurian, banyaknya orang-orang yang berkunjung ketempat-tempat hiburan dan kompleks pelacuran, banyaknya orang-orang yang menyalah gunakan wewenang dan jabatan, banyaknya orang yang menghujat fdan menggunjing, banyaknya orang yang meminta-minta padahal tenaganya masih mampu untuk bekerja, banyaknya pengamen yang meminta belas kasihan orang, banyaknya kaum wanita yang sengaja membuka auratnya, banyaknya orang-orang yang berbuat syirik mendatangi dukun, memberikan sesajen pada laut, pepohonan, bebatuan dan gunung-gunung, banyaknya orang-orang yang mempercayai tukang ramal. Dan banyak lagi contoh perilaku dan perbuatan orang-orang yang tidak memiliki rasa malu, namun tidak perlu kiranya dimuat disini. Intinya bahwa perilaku dan perbuatan apa saja yang tidak patut baik sifatnya kecil maupun besar berupa keburukan/kejelekan yang dilakukan oleh siapa saja menunjukkan bahwa sipelaku kurang atau tidak memiliki rasa malu dalam dirinya.

Apakah Malu itu ?

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995), malu adalah merasa sangat tidak senang, rendah, hina, dan sebagainya karena berbuat sesuatu yang kurang baik, bercacat, atau tidak disetujui oleh umumnya manusia.

Menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam kitab beliau Tazkiyatun Nafs, al-Hayaa’ atau malu adalah turunan dari kata al-Hayaat ( hidup), karena hati yang hidup berarti pemiliknya juga memiliki rasa malu., didalmnya terdapat sifat malu yang dapat menghalanginya dari berbagai perbuatan buruk, karena hidupnya hati adalah penghalang dari keburukan yang dapat merusak hati.

Menurut penuturan Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah alhaya’ (rasa malu) diambil dari kata-kata hayat (kehidupan). Sehingga kekuatan rasa malu itu sebanding lurus dengan sehat atau tidaknya hati seseorang. Berkurangnya rasa malu merupakan pertanda dari matinya hati dan ruh orang tersebut. Semakin sehat suatu hati maka akan makin sempurna rasa malunya.
Hakikat rasa malu adalah suatu akhlak yang mendorong untuk meninggalkan hal-hal yang buruk dan kurang memperhatikan haknya orang yang memiliki hak.
Al-Imam Al-Khaththabi rahimahullah mengatakan –sebagaimana dinukil oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah, “Yang dapat mencegah seseorang terjatuh dalam kejelekan adalah rasa malu.Sehingga bila dia tinggalkan rasa malu itu, seolah-olah dia diperintah secara tabiat untuk melakukan segala macam kejelekan.” (Fathul Bari, 10/643)
Sebenarnya apa malu itu? Para ulama menjelaskan, malu hakikatnya adalah akhlak yang dapat membawa seseorang untuk meninggalkan perbuatan tercela dan mencegahnya dari mengurangi hak yang lainnya. Demikian dikatakan oleh Al-Imam An-Nawawi rahimahullah dalam kitab beliau Riyadhush Shalihin, Kitabul Adab Bab Al-Haya` wa Fadhluhu wal Hatstsu ‘alat Takhalluqi bihi.
Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah ketika menjelaskan hadits ‘Imran bin Hushain tentang malu, mengatakan bahwa malu yang dipuji dalam ucapan Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam adalah akhlak yang bisa mendorong seseorang melakukan kebaikan dan meninggalkan kejelekan. Sedangkan rasa lemah yang menyebabkan seseorang mengurangi hak Allah tabarak wa ta’ala ataupun hak hamba-Nya bukan termasuk malu. Tetapi ini adalah kelemahan, ketidakmampuan, dan kehinaan. (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, 1/502
Al-Hafizh rahimahullah menukilkan dari Ar-Raghib bahwa malu adalah menahan diri dari perbuatan jelek. Dan ini merupakan kekhususan yang dimiliki manusia agar dia dapat berhenti dari berbuat apa saja yang dia inginkan, sehingga dia tidak akan seperti hewan. (Fathul Bari, 1/102)
Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah dan ulama yang lain menjelaskan, “Sesungguhnya malu termasuk keimanan walaupun malu itu berupa sifat pembawaan. Karena, malu itu terkadang merupakan akhlak yang disandang atau hasil usaha seseorang seperti halnya amalan kebaikan lainnya, dan terkadang pula merupakan sifat pembawaan. Namun pelaksanaannya di atas aturan syariat membutuhkan upaya, niat, dan ilmu. Dengan ini, malu termasuk keimanan. Juga karena malu dapat mendorong seseorang untuk melakukan kebaikan dan mencegahnya dari kemaksiatan.” (Syarh Shahih Muslim, 2/4)
Selanjutnya beliau juga berkata, “Lima tanda celakanya seseorang adalah kerasnya hati, mata yang tidak bisa menangis, sedikitnya rasa malu, cinta dunia, dan panjang angan-angan.”
Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Para ulama mengatakan bahwa malu hakikatnya adalah akhlak yang mengantar seseorang untuk meninggalkan kejelekan dan menghalanginya mengurangi hak-hak orang lain.”
Kami telah meriwayatkan dari al-Qasim al-Junaidi rahimahullah, ia berkata, “Malu adalah memerhatikan nikmat-nikmat (Allah Subhanahu wa Ta’ala) dan menganggap dirinya kurang (mensyukuri nikmat-nikmat tersebut). Dari keduanya terlahir rasa malu.”
Ummu Abdillah al-Wadi’iyyah hafizhahallahu ta’ala berkata, “Malu adalah salah satu akhlak yang utama. Ia merupakan perhiasan manusia. Hilangnya rasa malu akan menyebabkan segala macam keburukan, sehingga terjadilah pertumpahan darah, dinodainya kehormatan manusia, dilakukannya perbuatan-perbuatan keji, tidak dihargainya orang-orang tua, dan campur baurnya laki-laki dengan para wanita.Para wanita keluar sembari menampakkan perhiasan dan berdandan, bepergian tanpa mahram. Hilangnya rasa malu juga akan menyebabkan al-haq hanya didengar namun selanjutnya ditolak.”
Muslim yang mempunyai rasa malu akan terhalangi dari perkara-perkara yang buruk dan jelek, baik rasa malu yang berlaku secara tabi’at maupun rasa malu yang lahir karena keimanan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Ibnu Qutaibah rahimahullah mengatakan, “ rasa malu termasuk iman, artinya iman itu dapat menghalangi pelakunya dari melakukan kemaksiatan sebagaimana iman menghalangi pelakunya dari hal itu. Ia disebut iman sebagaimana sesuatu disebut dengan sebutan sesuatu yang menduduki kedudukannya.

Malu adalah suatu akhlak terpuji yang mendorong seseorang untuk meninggalkan suatu amalan yang mencoreng jiwanya, karena akhlak ini bisa mendorong dia untuk berbuat kebaikan dan menjauhi kemungkaran. Dia merupakan hijab yang bersifat umum yang diperintahkan kepada setiap muslim baik dia laki-laki maupun wanita.
Rasa malu merupakan bagian dari keimanan bahkan dia merupakan salah satu indikator tinggi rendahnya keimanan seorang muslim. Karenanya, manusia yang paling beriman -yaitu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam- adalah manusia yang paling pemalu, bahkan melebihi malunya para wanita yang dalam pingitan.
Intinya, malu tidaklah menghasilkan kecuali kebaikan dan dia tidaklah datang kecuali dengan membawa kebaikan pula. Karenanya wasiat malu ini merupakan wasiat dari para anbiya` sejak dari zaman ke zaman kepada umatnya, agar mereka bisa menjaga sifat malu mereka, karena hal itu akan menjaga kehormatan mereka di dunia dan jasad mereka di akhirat dari api

Dua Macam Malu yang ada pada diri manusia

Dalam banyak kitab yang membahas tentang malu, para ulama mengemukan bahwa ada dua macam malu yang ada dalam diri setiap manusia, yaitu :
Pertama, malu yang berasal dari tabiat dasar seseorang. Ada sebagian orang yang Allah k anugerahi sifat malu, sehingga kita dapati orang itu pemalu sejak kecil. Tidak berbicara kecuali pada sesuatu yang penting, dan tidak melakukan suatu perbuatan kecuali ketika ada kepentingan, karena dia pemalu.
Kedua, malu yang diupayakan dari latihan, bukan pembawaan. Artinya, seseorang tadinya bukan seorang pemalu. Dia cakap dalam berbicara dan tangkas berbuat apa pun. Lalu dia bergaul dengan orang-orang yang memiliki sifat malu dan baik sehingga dia memperoleh sifat itu dari mereka. Malu yang bersifat pembawaan itu lebih utama daripada yang kedua ini. (Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyah, Ibnu ‘Utsaimin , hal. 234)

Sifat malu ini mendapatkan pujian dalam syariat Islam. Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam menyatakan demikian dalam sabdanya yang disampaikan oleh ‘Imran bin Hushain radhyallahu’anhum :
صحيح البخاري ٥٦٥٢: حَدَّثَنَا آدَمُ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَبِي السَّوَّارِ الْعَدَوِيِّ قَالَ سَمِعْتُ عِمْرَانَ بْنَ حُصَيْنٍ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْحَيَاءُ لَا يَأْتِي إِلَّا بِخَيْرٍ فَقَالَ بُشَيْرُ بْنُ كَعْبٍ مَكْتُوبٌ فِي الْحِكْمَةِ إِنَّ مِنْ الْحَيَاءِ وَقَارًا وَإِنَّ مِنْ الْحَيَاءِ سَكِينَةً فَقَالَ لَهُ عِمْرَانُ أُحَدِّثُكَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتُحَدِّثُنِي عَنْ صَحِيفَتِكَ

Shahih Bukhari 5652: Telah menceritakan kepada kami Adam telah menceritakan kepada kami Syu'bah dari Qatadah dari Abu As Sawwar Al 'Adawi dia berkata; saya mendengar 'Imran bin Hushain berkata; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sifat malu itu tidak datang kecuali dengan kebaikan." Maka Busyair bin Ka'b berkata; "Telah tertulis dalam hikmah, sesungguhnya dari sifat malu itu terdapat ketenangan, sesungguhnya dari sifat malu itu terdapat ketentraman." Maka Imran berkata kepadanya; "Aku menceritakan kepadamu dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, sementara kamu menceritakan kepadaku dari catatanmu."
Bahkan beliau shalallahu’alaihi wa sallam melarang seorang sahabat yang mencela temannya karena rasa malu yang dimilikinya. Dikisahkan oleh Abdullah bin Umar radhyallahu’anhuma:
صحيح البخاري ٥٦٥٣: حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ أَبِي سَلَمَةَ حَدَّثَنَا ابْنُ شِهَابٍ عَنْ سَالِمٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا مَرَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى رَجُلٍ وَهُوَ يُعَاتِبُ أَخَاهُ فِي الْحَيَاءِ يَقُولُ إِنَّكَ لَتَسْتَحْيِي حَتَّى كَأَنَّهُ يَقُولُ قَدْ أَضَرَّ بِكَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعْهُ فَإِنَّ الْحَيَاءَ مِنْ الْإِيمَانِ
Shahih Bukhari 5653: Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Yunus telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz bin Abu Salamah telah menceritakan kepada kami Ibnu Syihab dari Salim dari Abdullah bin Umar radliallahu 'anhuma; "Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pernah melewati seorang laki-laki yang tengah mencela saudaranya karena malu, kata laki-laki itu; "Sesungguhnya kamu selalu malu hingga hal itu akan membahayakan bagimu." Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Biarkanlah ia, karena sesungguhnya sifat malu itu termasuk dari iman."

Abu Hurairah radhyallahu’anhuma pernah pula mengatakan bahwa Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam bersabda:
صحيح مسلم ٥١: حَدَّثَنَا زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ سُهَيْلٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الْأَذَى عَنْ الطَّرِيقِ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنْ الْإِيمَانِ Shahih Muslim 51: Telah menceritakan kepada kami Zuhair bin Harb telah menceritakan kepada kami Jarir dari Suhail dari Abdullah bin Dinar dari Abu Shalih dari Abu Hurairah dia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Iman itu ada tujuh puluh lebih, atau enam puluh lebih cabang. Yang paling utama adalah perkataan, LAA ILAAHA ILLALLAHU (Tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah). Dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan malu itu adalah sebagian dari iman." Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah dan ulama yang lain menjelaskan, “Sesungguhnya malu termasuk keimanan walaupun malu itu berupa sifat pembawaan. Karena, malu itu terkadang merupakan akhlak yang disandang atau hasil usaha seseorang seperti halnya amalan kebaikan lainnya, dan terkadang pula merupakan sifat pembawaan. Namun pelaksanaannya di atas aturan syariat membutuhkan upaya, niat, dan ilmu. Dengan ini, malu termasuk keimanan. Juga karena malu dapat mendorong seseorang untuk melakukan kebaikan dan mencegahnya dari kemaksiatan.” (Syarh Shahih Muslim, 2/4)
Abdullah bin ‘Umar radhyallahu’anhuma pernah mengatakan:

Malu dan iman itu senantiasa ada bersama-sama. Bila hilang salah satu dari keduanya, hilang pula yang lainnya.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 1313, dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani v dalam Shahih Al-Adabil Mufrad: shahih)

Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam sendiri adalah seorang yang memiliki sifat sangat pemalu. Digambarkan oleh Abu Sa’id Al-Khudri radhyallahu,anhum sifat malu beliau shalallahu’alaihi wa sallam
: صحيح البخاري ٥٦٥٤: حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ الْجَعْدِ أَخْبَرَنَا شُعْبَةُ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ مَوْلَى أَنَسٍ قَالَ أَبُو عَبْد اللَّهِ اسْمُهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي عُتْبَةَ سَمِعْتُ أَبَا سَعِيدٍ يَقُولُ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَشَدَّ حَيَاءً مِنْ الْعَذْرَاءِ فِي خِدْرِهَا
Shahih Bukhari 5654: Telah menceritakan kepada kami Ali bin Al Ja'ad telah mengabarkan kepada kami Syu'bah dari Qatadah dari Bekas budak Anas, Abu Abdullah berkata; namanya adalah Abdullah bin Abu 'Utbah dia berkata; saya mendengar Abu Sa'id berkata; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam lebih pemalu daripada seorang gadis pingitan yang dipingit di kamarnya."
“‘Utsman bin ‘Affan radhyallahu’anhum adalah seorang sahabat yang terkenal memiliki sifat pemalu, hingga Rasulullah shalallahu’alahi wa sallam pun malu kepadanya. Dikisahkan oleh Aisyah radhyallahu’anhum :
صحيح مسلم ٤٤١٤: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى وَيَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ وَقُتَيْبَةُ وَابْنُ حُجْرٍ قَالَ يَحْيَى بْنُ يَحْيَى أَخْبَرَنَا و قَالَ الْآخَرُونَ حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ يَعْنُونَ ابْنَ جَعْفَرٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ أَبِي حَرْمَلَةَ عَنْ عَطَاءٍ وَسُلَيْمَانَ ابْنَيْ يَسَارٍ وَأَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُضْطَجِعًا فِي بَيْتِي كَاشِفًا عَنْ فَخِذَيْهِ أَوْ سَاقَيْهِ فَاسْتَأْذَنَ أَبُو بَكْرٍ فَأَذِنَ لَهُ وَهُوَ عَلَى تِلْكَ الْحَالِ فَتَحَدَّثَ ثُمَّ اسْتَأْذَنَ عُمَرُ فَأَذِنَ لَهُ وَهُوَ كَذَلِكَ فَتَحَدَّثَ ثُمَّ اسْتَأْذَنَ عُثْمَانُ فَجَلَسَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَسَوَّى ثِيَابَهُ قَالَ مُحَمَّدٌ وَلَا أَقُولُ ذَلِكَ فِي يَوْمٍ وَاحِدٍ فَدَخَلَ فَتَحَدَّثَ فَلَمَّا خَرَجَ قَالَتْ عَائِشَةُ دَخَلَ أَبُو بَكْرٍ فَلَمْ تَهْتَشَّ لَهُ وَلَمْ تُبَالِهِ ثُمَّ دَخَلَ عُمَرُ فَلَمْ تَهْتَشَّ لَهُ وَلَمْ تُبَالِهِ ثُمَّ دَخَلَ عُثْمَانُ فَجَلَسْتَ وَسَوَّيْتَ ثِيَابَكَ فَقَالَ أَلَا أَسْتَحِي مِنْ رَجُلٍ تَسْتَحِي مِنْهُ الْمَلَائِكَةُ
Shahih Muslim 4414: Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya dan Yahya bin Ayyub dan Qutaibah dan Ibnu Hujr. Yahya bin Yahya berkata; Telah mengabarkan kepada kami Sedangkan yang lainnya berkata; Telah menceritakan kepada kami Isma'il yaitu Ibnu Ja'far dari Muhammad bin Abu Harmalah dari 'Atha dan Sulaiman -kedua anak Yasar dan Abu Salamah bin 'Abdur Rahman bahwa 'Aisyah berkata; 'Pada suatu ketika, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sedang berbaring di rumah saya dengan membiarkan kedua pahanya atau kedua betisnya terbuka. Tak lama kemudian, Abu Bakar minta izin kepada Rasulullah untuk masuk ke dalam rumah beliau. Maka Rasulullah pun mempersilahkannya untuk masuk dalam kondisi beliau tetap seperti itu dan terus berbincang-bincang (tentang suatu hal). Lalu Umar bin Khaththab datang dan meminta izin kepada Rasulullah untuk masuk ke dalam rumah beliau. Maka Rasulullah pun mempersilahkannya untuk masuk dalam kondisi beliau tetap seperti itu dan terus berbincang-bincang (tentang suatu hal). Kemudian Utsman bin Affan datang dan meminta izin kepada beliau untuk masuk ke dalam rumah beliau. Maka Rasulullah pun mempersilahkannya untuk masuk seraya mengambil posisi duduk dan membetulkan pakaiannya. Muhammad berkata; Saya tidak mengatakan hal itu pada hari yang sama. Lalu Utsman masuk dan langsung bercakap-cakap dengan beliau tentang berbagai hal. Setelah Utsman keluar dari rumah, Aisyah bertanva; "Ya Rasulullah, tadi ketika Abu Bakar masuk ke rumah engkau tidak terlihat tergesa-gesa untuk menyambutnya. Kemudian ketika Umar datang dan masuk, engkaupun menyambutnya dengan biasa-biasa saja. Akan tetapi ketika Utsman bin Affan datang dan masuk ke rumah maka engkau segera bangkit dari pembaringan dan langsung mengambil posisi duduk sambil membetulkan pakaian engkau. Sebenarnya ada apa dengan hal ini semua ya Rasulullah'?" Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: "Hai Aisyah, bagaimana mungkin aku tidak merasa malu kepada seseorang yang para malaikat saja merasa malu kepadanya

Dalam riwayat yang lainnya dari ‘Aisyah dan ‘Utsman radhyallah’anhuma, Rasulullah shalallahu’alahi wa salam mengatakan:
صحيح مسلم ٤٤١٥: حَدَّثَنَا عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ شُعَيْبِ بْنِ اللَّيْثِ بْنِ سَعْدٍ حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ جَدِّي حَدَّثَنِي عُقَيْلُ بْنُ خَالِدٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدِ بْنِ الْعَاصِ أَنَّ سَعِيدَ بْنَ الْعَاصِ أَخْبَرَهُ أَنَّ عَائِشَةَ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعُثْمَانَ حَدَّثَاهُ أَنَّ أَبَا بَكْرٍ اسْتَأْذَنَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ مُضْطَجِعٌ عَلَى فِرَاشِهِ لَابِسٌ مِرْطَ عَائِشَةَ فَأَذِنَ لِأَبِي بَكْرٍ وَهُوَ كَذَلِكَ فَقَضَى إِلَيْهِ حَاجَتَهُ ثُمَّ انْصَرَفَ ثُمَّ اسْتَأْذَنَ عُمَرُ فَأَذِنَ لَهُ وَهُوَ عَلَى تِلْكَ الْحَالِ فَقَضَى إِلَيْهِ حَاجَتَهُ ثُمَّ انْصَرَفَ قَالَ عُثْمَانُ ثُمَّ اسْتَأْذَنْتُ عَلَيْهِ فَجَلَسَ وَقَالَ لِعَائِشَةَ اجْمَعِي عَلَيْكِ ثِيَابَكِ فَقَضَيْتُ إِلَيْهِ حَاجَتِي ثُمَّ انْصَرَفْتُ فَقَالَتْ عَائِشَةُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَالِي لَمْ أَرَكَ فَزِعْتَ لِأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا كَمَا فَزِعْتَ لِعُثْمَانَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ عُثْمَانَ رَجُلٌ حَيِيٌّ وَإِنِّي خَشِيتُ إِنْ أَذِنْتُ لَهُ عَلَى تِلْكَ الْحَالِ أَنْ لَا يَبْلُغَ إِلَيَّ فِي حَاجَتِهِ و حَدَّثَنَاه عَمْرٌو النَّاقِدُ وَالْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ الْحُلْوَانِيُّ وَعَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ كُلُّهُمْ عَنْ يَعْقُوبَ بْنِ إِبْرَاهِيمَ بْنِ سَعْدٍ حَدَّثَنَا أَبِي عَنْ صَالِحِ بْنِ كَيْسَانَ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ أَخْبَرَنِي يَحْيَى بْنُ سَعِيدِ بْنِ الْعَاصِ أَنَّ سَعِيدَ بْنَ الْعَاصِ أَخْبَرَهُ أَنَّ عُثْمَانَ وَعَائِشَةَ حَدَّثَاهُ أَنَّ أَبَا بَكْرٍ الصِّدِّيقَ اسْتَأْذَنَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَ بِمِثْلِ حَدِيثِ عُقَيْلٍ عَنْ الزُّهْرِيِّ

Shahih Muslim 4415: Telah menceritakan kepada kami 'Abdul Malik bin Syu'aib bin Al Laits bin Sa'ad; Telah menceritakan kepadaku Bapakku dari Kakekku; Telah menceritakan kepadaku 'Uqail bin Khalid dari Ibnu Syihab dari Yahya bin Sa'id bin Al 'Ash bahwa Sa'id bin Al 'Ash Telah mengabarkan kepadanya, 'Aisyah istri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan Utsman telah menceritakan kepadanya; Abu Bakar meminta izin untuk menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sedang saya bersama beliau dalam satu selimut, kemudian beliau mengizinkannya dan dia menyampaikan keperluannya kepada beliau sedang beliau masih bersamaku dalam selimut. Setelah itu Abu Bakar keluar. Kemudian Umar meminta izin kepada beliau dalam keadaan yang sama. lalu beliau mengizinkannya dan dia menyampaikan keperluannya kepada beliau, setelah itu Umar keluar. Utsman berkata; Kemudian aku meminta izin kepada beliau, lalu beliau segera duduk seraya berkata kepada Aisyah; 'Betulkan pakaianmu wahai Aisyah! Lalu aku menyampaikan keperluanku kepada beliau setelah itu aku keluar. Aisyah berkata; wahai Rasulullah! aku melihat sikapmu kepada Abu Bakar dan Umar ketika mereka meminta izin (menemuimu) tidak sama dengan sikapmu kepada Utsman ketika dia datang, kenapa demikian? Beliau bersabda: "Sesungguhnya Ustman adalah orang yang sangat pemalu dan jika aku mengizinkannya dalam keadaanku yang seperti itu, aku khawatir dia tidak mau menyampaikan keperluannya kepadaku." Dan telah menceritakannya kepada kami 'Amru An Naqid dan Al Hasan bin 'Ali Al Hulwani dan 'Abad bin Humaid seluruhnya dari Ya'qub bin Ibrahim bin Sa'ad; Telah menceritakan kepada kami Bapakku dari Shalih bin Kaisan dari Ibnu Syihab dia berkata; Telah mengabarkan kepadaku Yahya bin Sa'd bin Al 'Ash bahwa Sa'd bin Al 'Ash telah mengabarkan kepadanya; bahwanya 'Utsman dan 'Aisyah telah menceritakannya kepada kami; Abu Bakr Ash Shiddiq meminta izin untuk menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. -lalu perawi menyebutkan Hadits yang sama dengan Hadits Uqail dari Az Zuhri.
“Ini menunjukkan bahwa malu adalah sifat yang terpuji dan termasuk sifat yang dimiliki oleh para malaikat. (Syarh Shahih Muslim, 15/168)

Selain dari apa yang dikemukakan diatas, oleh sebagian kalangan ulama malu itu dibagi pula atas :
. Yang pertama adalah rasa malu kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Artinya seorang hamba merasa malu jika Allah melihatnya sedang melakukan kemaksiatan dan menyelisihi perintah-Nya. Dalam hal ini orang tersebut memiliki rasa muraqabah, yaitu yang bersangkutan merasa bahwa Allah subhanahu wa ta’ala yang maha mengetahui dan maha melihat selalu mengawasi seluruh gerak gerik hamba-hambanya, sehingga yang bersangkutan merasa malu untuk berbuat sesuatu yang b yang maha mengetahui dan maha melihat selalu mengawasi seluruh gerak gerik hamba-hambanya, sehingga yang bersangkutan merasa malu untuk berbuat sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai kebaikan dan akhlak yang mulia.
Yang kedua adalah rasa malu dengan sesama manusia. Dalam hal ini seseorang merasa malu terhadap orang lain apabila ia melakukan sesuatu yang tidak bersesuaian dengan norma-norma yang berlaku ditengah-tengah masyarakat atau yang dimana orang banyak dianggap sebagai sesuatu yang tidak lazim.
Untuk rasa malu dengan kategori pertama, Nabi jelaskan dalam sabdanya,;

سنن الترمذي ٢٣٨٢: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ مُوسَى حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدٍ عَنْ أَبَانَ بْنِ إِسْحَقَ عَنْ الصَّبَّاحِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ مُرَّةَ الْهَمْدَانِيِّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَحْيُوا مِنْ اللَّهِ حَقَّ الْحَيَاءِ قَالَ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا نَسْتَحْيِي وَالْحَمْدُ لِلَّهِ قَالَ لَيْسَ ذَاكَ وَلَكِنَّ الِاسْتِحْيَاءَ مِنْ اللَّهِ حَقَّ الْحَيَاءِ أَنْ تَحْفَظَ الرَّأْسَ وَمَا وَعَى وَالْبَطْنَ وَمَا حَوَى وَلْتَذْكُرْ الْمَوْتَ وَالْبِلَى وَمَنْ أَرَادَ الْآخِرَةَ تَرَكَ زِينَةَ الدُّنْيَا فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَقَدْ اسْتَحْيَا مِنْ اللَّهِ حَقَّ الْحَيَاءِ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ غَرِيبٌ إِنَّمَا نَعْرِفُهُ مِنْ هَذَا الْوَجْهِ مِنْ حَدِيثِ أَبَانَ بْنِ إِسْحَقَ عَنْ الصَّبَّاحِ بْنِ مُحَمَّدٍ
Sunan Tirmidzi 2382: Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Musa telah menceritakan kepada kami Muhammad bin 'Ubaid dari Aban bin Ishaq dari Ash Shabbah bin Muhammad dari Murrah Al Hamdani dari Abdullah bin Mas'ud berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salam bersabda: "Malulah pada Allah dengan sebenarnya." Berkata Ibnu Mas'ud: Kami berkata: Wahai Rasulullah, kami malu, alhamdulillah. Beliau bersabda: "Bukan itu, tapi malu kepada Allah dengan sebenarnya adalah kau menjaga kepala dan apa yang difahami dan perut beserta isinya, mengingat kematian dan segala kemusnahan, barangsiapa menginginkan akhirat, ia meninggalkan perhiasan dunia, barangsiapa melakukannya, ia malu kepada Allah dengan sebenarnya." Berkata Abu Isa: Hadits ini gharib, kami hanya mengetahuinya dari jalur sanad ini dari hadits Abban bin Ishaq dari Ash Shabbah bin Muhammad.

Dalam hadits ini, Nabi menjelaskan bahwa tanda memiliki rasa malu kepada Allah adalah menjaga anggota badan agar tidak digunakan untuk bermaksiat kepada Allah, mengingat kematian, tidak panjang angan-angan di dunia ini dan tidak sibuk dengan kesenangan syahwat serta larut dalam gemerlap kehidupan dunia sehingga lalai dari akhirat.
.Rasa malu kepada Allah adalah di antara bentuk penghambaan dan rasa takut kepada Allah. Rasa malu ini merupakan buah dari mengenal betul Allah, keagungan Allah. Serta menyadari bahwa Allah itu dekat dengan hamba-hambaNya, mengawasi perilaku mereka dan sangat paham dengan adanya mata-mata yang khianat serta isi hati nurani.

Rasa malu kepada Allah adalah termasuk tanda iman yang tertinggi bahkan merupakan derajat ihsan yang paling puncak. Sebuah hadits Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam :

صحيح البخاري ٤٨: حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ قَالَ حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ أَخْبَرَنَا أَبُو حَيَّانَ التَّيْمِيُّ عَنْ أَبِي زُرْعَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَارِزًا يَوْمًا لِلنَّاسِ فَأَتَاهُ جِبْرِيلُ فَقَالَ مَا الْإِيمَانُ قَالَ الْإِيمَانُ أَنْ تُؤْمِنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَبِلِقَائِهِ وَرُسُلِهِ وَتُؤْمِنَ بِالْبَعْثِ قَالَ مَا الْإِسْلَامُ قَالَ الْإِسْلَامُ أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ وَلَا تُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَتُقِيمَ الصَّلَاةَ وَتُؤَدِّيَ الزَّكَاةَ الْمَفْرُوضَةَ وَتَصُومَ رَمَضَانَ قَالَ مَا الْإِحْسَانُ قَالَ أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ قَالَ مَتَى السَّاعَةُ قَالَ مَا الْمَسْئُولُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنْ السَّائِلِ وَسَأُخْبِرُكَ عَنْ أَشْرَاطِهَا إِذَا وَلَدَتْ الْأَمَةُ رَبَّهَا وَإِذَا تَطَاوَلَ رُعَاةُ الْإِبِلِ الْبُهْمُ فِي الْبُنْيَانِ فِي خَمْسٍ لَا يَعْلَمُهُنَّ إِلَّا اللَّهُ ثُمَّ تَلَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ { إِنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ } الْآيَةَ ثُمَّ أَدْبَرَ فَقَالَ رُدُّوهُ فَلَمْ يَرَوْا شَيْئًا فَقَالَ هَذَا جِبْرِيلُ جَاءَ يُعَلِّمُ النَّاسَ دِينَهُمْ قَالَ أَبُو عَبْد اللَّهِ جَعَلَ ذَلِك كُلَّهُ مِنْ الْإِيمَانِ
Shahih Bukhari 48: Telah menceritakan kepada kami Musaddad berkata, Telah menceritakan kepada kami Isma'il bin Ibrahim telah mengabarkan kepada kami Abu Hayyan At Taimi dari Abu Zur'ah dari Abu Hurairah berkata; bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pada suatu hari muncul kepada para sahabat, lalu datang Malaikat Jibril 'Alaihis Salam yang kemudian bertanya: "Apakah iman itu?" Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: "Iman adalah kamu beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, pertemuan dengan-Nya, Rasul-Rasul-Nya, dan kamu beriman kepada hari berbangkit". (Jibril 'Alaihis salam) berkata: "Apakah Islam itu?" Jawab Nabi shallallahu 'alaihi wasallam: "Islam adalah kamu menyembah Allah dan tidak menyekutukannya dengan suatu apapun, kamu dirikan shalat, kamu tunaikan zakat yang diwajibkan, dan berpuasa di bulan Ramadlan". (Jibril 'Alaihis salam) berkata: "Apakah ihsan itu?" Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: "Kamu menyembah Allah seolah-olah melihat-Nya dan bila kamu tidak melihat-Nya sesungguhnya Dia melihatmu". (Jibril 'Alaihis salam) berkata lagi: "Kapan terjadinya hari kiamat?" Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: "Yang ditanya tentang itu tidak lebih tahu dari yang bertanya. Tapi aku akan terangkan tanda-tandanya; (yaitu); jika seorang budak telah melahirkan tuannya, jika para penggembala unta yang berkulit hitam berlomba-lomba membangun gedung-gedung selama lima masa, yang tidak diketahui lamanya kecuali oleh Allah". Kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wasallam membaca: "Sesungguhnya hanya pada Allah pengetahuan tentang hari kiamat" (QS. Luqman: 34). Setelah itu Jibril 'Alaihis salam pergi, kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berkata; "hadapkan dia ke sini." Tetapi para sahabat tidak melihat sesuatupun, maka Nabi bersabda; "Dia adalah Malaikat Jibril datang kepada manusia untuk mengajarkan agama mereka." Abu Abdullah berkata: "Semua hal yang diterangkan Beliau shallallahu 'alaihi wasallam dijadikan sebagai ima
n.
Rasa malu yang kedua adalah malu dengan sesama manusia. Malu inilah yang mengekang seorang hamba untuk melakukan perbuatan yang tidak pantas. Dia merasa risih jika ada orang lain yang mengetahui kekurangan yang dia miliki.Rasa malu dengan sesama akan mencegah seseorang dari melakukan perbuatan yang buruk dan akhlak yang hina. Sedangkan rasa malu kepada Allah akan mendorong untuk menjauhi semua larangan Allah dalam setiap kondisi dan keadaan, baik ketika bersama banyak orang ataupun saat sendiri tanpa siapa-siapa menyertai
Orang yang memiliki rasa malu dengan sesama tentu akan menjauhi segala sifat yang tercela dan berbagai tindak tanduk yang buruk. Karenanya orang tersebut tidak akan suka mencela, mengadu domba, menggunjing, berkata-kata jorok dan tidak akan terang-terangan melakukan tindakan maksiat dan keburukan.
Rasa takut kepada Allah mencegah kerusakan sisi batin seseorang. Sedangkan rasa malu dengan sesama berfungsi menjaga sisi lahiriah agar tidak melakukan tindakan buruk dan akhlak yang tercela. Karena itu orang yang tidak punya rasa malu itu seakan tidak memiliki iman.
سنن أبي داوود ٤١٦٤: حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ مَنْصُورٍ عَنْ رِبْعِيِّ بْنِ حِرَاشٍ عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلَامِ النُّبُوَّةِ الْأُولَى إِذَا لَمْ تَسْتَحِ فَافْعَلْ مَا شِئْتَ

Sunan Abu Daud 4164: Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Maslamah berkata, telah menceritakan kepada kami Syu'bah dari Manshur dari Rib'I bin Hirasy dari Abu Mas'ud ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Perkataan pertama yang diperoleh oleh manusia dari perkataan kenabian adalah, 'Jika kamu tidak malu maka berbuatlah sesukamu'

Makna hadits, jika orang itu sudah tidak lagi memiliki rasa malu maka dia akan berbagai perilaku buruk yang dia inginkan. Ini dikarenakan rasa malu yang merupakan faktor penghalang berbagai tindakan buruk tidak lagi terdapat pada diri orang tersebut. Siapa yang sudah tidak lagi memiliki rasa malu akan tenggelam dalam berbagai perbuatan keji dan kemungkaran.
Nabi shalallahu’alaihbiu wa sallam bersabda,
الحياء و الإيمان قرنا جميعا فإذا رفع أحدهما رفع الآخر
“Rasa malu dan iman itu terikat menjadi satu. Jika yang satu hilang maka yang lain juga akan hilang.” (HR. Hakim dari Ibnu Umar dengan penilaian ‘shahih menurut kriteria Bukhari dan Muslim. Penilaian beliau ini disetuju oleh Dzahabi. Juga dinilai shahih oleh al Albani dalam Shahih Jami’ Shaghir, no. 1603)
Hilangnya Rasa Malu Dalam Diri

Jika kita mau memperhatikan kondisi dan keadaan manusia secara cermat, niscaya kita akan mendapati realita bahwa berbagai keburukan dan kejelekan terjadi, baik yang berupa kekafiran, kesyirikan, kebid’ahan, dan kemaksiatan, baik yang kecil maupun yang besar, dikarenakan mereka telah kekurangan bahkan kehilangan rasa malu yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya. Jika rasa malu dengan kedua jenisnya telah hilang dari seseorang maka tak ada lagi kebaikan yang bisa diharapkan darinya. Bahkan bisa jadi dirinya telah berubah menjadi syaithan yang terkutuk’

Setiap orang mempunyai rasa malu, entah besar ataupun kecil. Malu itu merupakan kekuatan preventif (pencegahan) guna menghindarkan diri dalam kehinaan atau terulangnya kesalahan serupa. Akan tetapi, rasa malu itu bisa luntur dan pudar, hingga akhirnya lenyap (mati) karena berbagai sebab. Jika malu sudah mati dalam diri seseorang, berarti sudah tak ada lagi kebaikan yang bisa diharapkan dari dirinya. Untuk hal itu dalam sebuah hadits Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam diriwayatkan :
سنن أبي داوود ٤١٦٤: حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ مَنْصُورٍ عَنْ رِبْعِيِّ بْنِ حِرَاشٍ عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلَامِ النُّبُوَّةِ الْأُولَى إِذَا لَمْ تَسْتَحِ فَافْعَلْ مَا شِئْتَ

Sunan Abu Daud 4164: Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Maslamah berkata, telah menceritakan kepada kami Syu'bah dari Manshur dari Rib'I bin Hirasy dari Abu Mas'ud ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Perkataan pertama yang diperoleh oleh manusia dari perkataan kenabian adalah, 'Jika kamu tidak malu maka berbuatlah sesukamu'."
Dapat dibayangkan, bila rasa malu itu telah hilang dalam diri seseorang, segala perilakunya makin sulit dikendalikan. Sebab, dia akan melakukan berbagai perbuatan tak terpuji, seperti mencuri yang termasuk di dalamnya korupsi, , menipu, mempertontonkan aurat dengan pakaian yang seksi dan mini, berzina, mabuk-mabukan, pembajakan, pelecehan seksual, dan pembunuhan. Mereka sudah dikuasai oleh nafsu serakah. Orang yang sudah dikuasai nafsu serakah dan tidak ada lagi rasa malu dalam dirinya maka perbuatannya sama dengan perilaku hewan yang tidak punya akal. Berbagai macam kemaksiatan dan kemunkaran merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan lagi dari kehidupannya sehari-hari.
Hilangnya rasa malu pada diri seseorang merupakan awal datangnya bencana pada dirinya. Sebuah hadits menyebutkan :
سنن ابن ماجه ٤٠٤٤: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُصَفَّى حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ حَرْبٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ سِنَانٍ عَنْ أَبِي الزَّاهِرِيَّةِ عَنْ أَبِي شَجَرَةَ كَثِيرِ بْنِ مُرَّةَ عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِذَا أَرَادَ أَنْ يُهْلِكَ عَبْدًا نَزَعَ مِنْهُ الْحَيَاءَ فَإِذَا نَزَعَ مِنْهُ الْحَيَاءَ لَمْ تَلْقَهُ إِلَّا مَقِيتًا مُمَقَّتًا فَإِذَا لَمْ تَلْقَهُ إِلَّا مَقِيتًا مُمَقَّتًا نُزِعَتْ مِنْهُ الْأَمَانَةُ فَإِذَا نُزِعَتْ مِنْهُ الْأَمَانَةُ لَمْ تَلْقَهُ إِلَّا خَائِنًا مُخَوَّنًا فَإِذَا لَمْ تَلْقَهُ إِلَّا خَائِنًا مُخَوَّنًا نُزِعَتْ مِنْهُ الرَّحْمَةُ فَإِذَا نُزِعَتْ مِنْهُ الرَّحْمَةُ لَمْ تَلْقَهُ إِلَّا رَجِيمًا مُلَعَّنًا فَإِذَا لَمْ تَلْقَهُ إِلَّا رَجِيمًا مُلَعَّنًا نُزِعَتْ مِنْهُ رِبْقَةُ الْإِسْلَامِ Sunan Ibnu Majah 4044: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mushaffa telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Harb dari Sa'id bin Sinan dari Abu Az Zahiriyah dari Abu Syajarah Katsir bin Murrah dari Ibnu Umar, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Apabila Allah 'azza wajalla hendak membinasakan seorang hamba maka Dia akan memcabut rasa malu darinya, apabila rasa malu sudah dicabut darinya maka kamu akan mendapatinya dalam keadaan sangat dibenci. Jika kamu tidak mendapatinya melainkan dalam keadaan sangat dibenci, maka akan dicabut amanah darinya, apabila amanah telah dicabut darinya, maka kamu tidak mendapatinya kecuali dalam keadaan menipu dan tertipu. Apabila kamu tidak menjumpainya melainkan dalam keadaan menipu dan tertipu, maka akan dicabut darinya sifat kasih sayang, dan apabila dicabut darinya kasih sayang, kamu tidak akan menjumpainya kecuali dalam keadaan terlaknat lagi terusir, dan apabila kamu tidak menjumpainya melainkan dalam keadaan terlaknat lagi terusir, maka akan dicabut darinya ikatan Islam."

Hadits yang diriwayatkan oleh Muslim menyebutkan :
صحيح مسلم ٥٠: حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ سَعِيدٍ وَعَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ قَالَا حَدَّثَنَا أَبُو عَامِرٍ الْعَقَدِيُّ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ بِلَالٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ شُعْبَةً وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنْ الْإِيمَانِ
Shahih Muslim 50: Telah menceritakan kepada kami Ubaidullah bin Sa'id dan Abd bin Humaid keduanya berkata, telah menceritakan kepada kami Abu Amir al-Aqadi telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Bilal dari Abdullah bin Dinar dari Abu Shalih dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Iman itu ada tujuh puluh lebih cabang, dan malu adalah termasuk iman."

Hilangnya rasa malu, berarti mulai menipisnya rasa keimanan dalam dirinya. Dan, jika keimanan sudah semakin hilang, perbuatannya akan jauh dari rida Allah subhanahu wa ta’ala .
Setiap orang mempunyai rasa malu, entah besar ataupun kecil. Malu itu merupakan kekuatan preventif (pencegahan) guna menghindarkan diri dalam kehinaan atau terulangnya kesalahan serupa. Akan tetapi, rasa malu itu bisa luntur dan pudar, hingga akhirnya lenyap (mati) karena berbagai sebab. Jika malu sudah mati dalam diri seseorang, berarti sudah tak ada lagi kebaikan yang bisa diharapkan dari dirinya. Dapat dibayangkan, bila rasa malu itu telah hilang dalam diri seseorang, segala perilakunya makin sulit dikendalikan. Sebab, dia akan melakukan berbagai perbuatan tak terpuji, seperti melakukan pencurian dalam berbagai bentuk termasuk korupsi, , menipu, mempertontonkan aurat dengan pakaian yang seksi dan mini, berzina, mabuk-mabukan, pembajakan, pelecehan seksual, dan pembunuhan. Mereka sudah dikuasai oleh nafsu serakah. Orang yang sudah dikuasai nafsu serakah dan tidak ada lagi rasa malu dalam dirinya maka perbuatannya sama dengan perilaku hewan yang tidak punya akal, kecuali sekadar nafsu.
Manfaat Rasa Malu

Rasa malu merupakan sifat yang mulia, warisan dari para nabi ‘alaihimus salam. Oleh karena itu, Sifat yang agung ini telah diwarisi secara turun temurun oleh orang-orang shalih dari satu umat kepada umat yang lainnya. Dari satu generasi kepada generasi yang berikutnya. Demikianlah, sampai ajaran rasa malu itu diwarisi oleh pendahulu umat ini yaitu para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Dalam sebuah hadits diriwayatkan :
سنن أبي داوود ٤١٦٤: حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ مَنْصُورٍ عَنْ رِبْعِيِّ بْنِ حِرَاشٍ عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلَامِ النُّبُوَّةِ الْأُولَى إِذَا لَمْ تَسْتَحِ فَافْعَلْ مَا شِئْتَ

Sunan Abu Daud 4164: Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Maslamah berkata, telah menceritakan kepada kami Syu'bah dari Manshur dari Rib'I bin Hirasy dari Abu Mas'ud ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Perkataan pertama yang diperoleh oleh manusia dari perkataan kenabian adalah, 'Jika kamu tidak malu maka berbuatlah sesukamu'."

Muslim yang mempunyai rasa malu akan terhalangi dari perkara-perkara yang buruk dan jelek, baik rasa malu yang berlaku secara tabi’at maupun rasa malu yang lahir karena keimanan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jika kita mau memperhatikan kondisi dan keadaan manusia secara cermat, niscaya kita akan mendapati realita bahwa berbagai keburukan dan kejelekan terjadi, baik yang berupa kekafiran, kesyirikan, kebid’ahan, dan kemaksiatan, baik yang kecil maupun yang besar, dikarenakan mereka telah kekurangan bahkan kehilangan rasa malu yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya. Jika rasa malu dengan kedua jenisnya telah hilang dari seseorang maka tak ada lagi kebaikan yang bisa diharapkan darinya. Bahkan bisa jadi dirinya telah berubah menjadi syaithan yang terkutuk

Muslim yang berilmu akan menghiasi dirinya dengan malu kapan dan dimanapun ia berada, dengan Ilmu yang ia mampu mengolah hatinya agar tidak terperosok dalam syubhat-syubhat serta godaan-godaan yang dapat menghilangkan dirinya dengan rasa malu, lisannya senatiasa terjaga dengan tutur kata berkualitas serta dzikrullah dan malu tetap menghiasinya. Serta tingkahnya yang menunjukkan ketakwaannya kepada Rabbnya.

Rasa malu yang dimiliki oleh orang miskin akan menghalanginya untuk meminta-minta, sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadits :
صحيح البخاري ١٣٨٥: حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنِي مَالِكٌ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَيْسَ الْمِسْكِينُ الَّذِي يَطُوفُ عَلَى النَّاسِ تَرُدُّهُ اللُّقْمَةُ وَاللُّقْمَتَانِ وَالتَّمْرَةُ وَالتَّمْرَتَانِ وَلَكِنْ الْمِسْكِينُ الَّذِي لَا يَجِدُ غِنًى يُغْنِيهِ وَلَا يُفْطَنُ بِهِ فَيُتَصَدَّقُ عَلَيْهِ وَلَا يَقُومُ فَيَسْأَلُ النَّاسَ
Shahih Bukhari 1385: Telah menceritakan kepada kami Isma'il bin 'Abdullah berkata, telah menceritakan kepada saya Malik dari Abu Az Zanad dari Al A'raj dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam bersabda: "Bukanlah disebut miskin orang berkeliling meminta-minta kepada manusia dan bisa diatasi dengan satu atau dua suap makanan atau satu dua butir kurma. Akan tetapi yang disebut miskin adalah orang yang tidak mendapatkan seseorang yang bisa memenuhi kecukupannya, atau yang kondisinya tidak diketahui orang sehingga siapa tahu ada yang memberinya shedaqah atau orang yang tidak meminta-minta kepada manusia".

Rasa malu adalah sifat yang mulia. Rasa malu, seluruhnya adalah kebaikan. Rasulullah merupakan profile yang menjadi panutan dan tauladan dalam perihal rasa malu. Bahkan sampai disebutkan bahwa beliau lebih pemalu dari gadis pingitan yang berada dalam kamarnya. Demikianlah . Lebih daripada itu, para malaikat juga memiliki rasa malu. Sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadits ketika Rasulullah ditemui oleh ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu. Waktu itu, tersingkap bagian pahanya sehingga terbuka. Maka beliau pun bergegas membenahi dirinya tatkala utsman masuk kepadanya.

Dengan dimilikinya rasa malu sebagai akhlak yang terpuji pada diri seseorang niscaya dia akan selamat dan terlindungi dari segala macam kemaksiatan dan kemunkaran. Seseorang yang mempunyai rasa malu maka yang bersangkutan akan menjadi manusia yang penuh keta’atan kepada Allah subhanahu wa ta’ala, ia akan menjadi seorang mukmin yang senantiasa takut dan tidak pernah lalai dari segala perintah serta selalu menjauhi segala apa yang dilarang. Rasa malu yang bercokol dalam diri seseorang menjadikan dia sebagai seorang mukmin yang selalu memiliki keikhlasan baik dalam hubunganya secara vertical dengan Allah tabarak wa ta’ala, begitu pula dengan hubunganya secara horizontal dengan masyarakat lingkungannya.

Sesungguhnya rasa malu yang dimiliki oleh seseorang dalam dirinya tiada lain senantiasa akan mendatangkan kebaikan, sebagaimana hadits Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam :
صحيح البخاري ٥٦٥٢: حَدَّثَنَا آدَمُ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَبِي السَّوَّارِ الْعَدَوِيِّ قَالَ سَمِعْتُ عِمْرَانَ بْنَ حُصَيْنٍ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْحَيَاءُ لَا يَأْتِي إِلَّا بِخَيْرٍ فَقَالَ بُشَيْرُ بْنُ كَعْبٍ مَكْتُوبٌ فِي الْحِكْمَةِ إِنَّ مِنْ الْحَيَاءِ وَقَارًا وَإِنَّ مِنْ الْحَيَاءِ سَكِينَةً فَقَالَ لَهُ عِمْرَانُ أُحَدِّثُكَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتُحَدِّثُنِي عَنْ صَحِيفَتِكَ

Shahih Bukhari 5652: Telah menceritakan kepada kami Adam telah menceritakan kepada kami Syu'bah dari Qatadah dari Abu As Sawwar Al 'Adawi dia berkata; saya mendengar 'Imran bin Hushain berkata; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sifat malu itu tidak datang kecuali dengan kebaikan." Maka Busyair bin Ka'b berkata; "Telah tertulis dalam hikmah, sesungguhnya dari sifat malu itu terdapat ketenangan, sesungguhnya dari sifat malu itu terdapat ketentraman." Maka Imran berkata kepadanya; "Aku menceritakan kepadamu dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, sementara kamu menceritakan kepadaku dari catatanmu."
Rasa malu bagi seseorang merupakan daya kekuatan yang mendorongnya berwatak ingin selalu berbuat pantas dan menjauhi segala perilaku tidak patut. Orang yang memiliki watak malu adalah orang yang cepat menyingkiri segala bentuk kejahatan. Dengan rasa malu yang dimilikinya , yang bersangkutan merasa apa saja yang datangnya dari Allah subhanahu wa ta’ala sudah cukup bagi dirinya. Sehingga ia tidak pernah merasakan adanya kekurangan karena Allah yang Maha Pemberi telah mencukupkannya. ( Wallahu ta’ala ‘alam bish-shawab )

Referensi : 1. Al-Qur’an dan Terjemahan, Software Salafi DB
2. Ensiklopedi Hadits Kitab 9 Imam, Software Lidwa Pusaka
3. Ayat-ayat Larangan dan Perintah Dalam Al-Qur’an, KH Qamaruddin dkk
4. Riyadhus Shalihin, Imam Nawawi
5. Ihya Alumiddin
6.Tazkiyatun Nafs, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
7. Shahih Fadhail A’mal, Syaikh Ali bin Muhammad al-Maghribi
8. Madarijus Salikin, Ibnu Qaiyim Al-Jauziyah
9. Artikel Muslim Or.id
10. Artikel Asy-Ariyah on line
11.Artikel Stimik Amikom`

Tepian Mahakam, diselesaikan waktu dhuha, Senin 29 Shafar 1433 H / 23 Januari 2012
( O l e h : Abu Farabi al –banjar )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar