Tidak sedikit umat Islam di negeri ini yang dalam
melakukan berbagai pekerjaan dan kegiatan selalu tersebut terlebih dahulu
memilih-milih dan mempertimbangkan hari dan bulan yang dianggap baik. Karena mereka beranggapan
apa bila salah memilih hari maka akan berdampak buruk. Seperti apabila hendak
bepergian jauh banyak orang yang tidak melakukannya pada bulan Safar , karena
bulan tersebut dianggap bulan nahas atau bulan yang dapat mendatangkan kesialan.
Timbul
pertanyaan bagaimana menurut Islam tentang adanya anggapan atau keyakinan
terhadap adanya bulan Safar sebagai bulan nahas dan sial tersebut?. Apakah Islam
membenarkan atau membolehkan adanya anggapan seperti tersebut, dan apakah tidak
bertentangan dengan aqidah ?.
Dalam
bahasan singkat berikut ini diketengahkan jawaban terhadap pertanyaan tersebut
diatas menurut Islam.
Sekilas Tentang Anggapan Hari Baik DanBuruk (Hari Sial)
Dalam
sebuah artikel millis yahoogroup
dijumpai informasi tentang adanya hari
baik-buruk menurut kalender hijriyah yang katanya bersumber dari kitab
Makarimul Akhlaq, halaman 474, dimana disebutkan dalam artikel tersebut bahwa
untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, dan juga untuk memperoleh
kebaikan dan keberkahan, maka sebaiknya kita memilih hari yang baik dan tepat
untuk melakukan aktivitas. Misalnya akad pernikahan, memulai usaha,memulai
membangun rumah, melakukan kontrak kerja, pindah rumah, bepergian dan lainnya.
Karena hari-hari itu tidak sama nilainya, ada yang baik untuk aktivitas
tertentu dan tidak baik untuk aktivitas yang lain, dan ada jugahari yang nahas
(sial) sepanjang hari.
Allah swt
berfirman: "Kami menghembuskan badai
dalam beberapa hari yang nahas, karena Kami hendak merasakan kepada mereka itu
siksaan yang menghinakan dalam kehidupan dunia. Dan sesungguhnya siksaan di
akhirat lebih menghinakan sedangkan mereka tidak diberi pertolongan."
(Fushshilat/41: 16)
"Sesungguhnya Kami menghembuskan kepada mereka angin yang
sangat kencang pada hari nahas yang terus menerus." (Al-Qamar/54: 19).
Tentang
hari-hari pilihan, Imam Ja’far Ash-Shadiq (sa) berkata: "Hindarilah melakukan
safar (bepergian) pada hari ketiga, keempat, ke 21 dan ke 25 setiap bulan,
karena hari-hari itu adalah hari nahas." (Makarimul Akhlaq: 424)
Dalam
suatu riwayat disebutkan bahwa Jika terpaksa melakukan aktivitas pada hari
nahas atau hari yang tidak baik, maka hendaknya bersedekah sebelum melakukan
aktivitas dan membaca doa penolak bala
Mitos di Tengah Masyarakat Tentang Bulan Safar
Menurut bahasa Safar berarti kosong,
ada pula yang mengartikannya kuning. Sebab dinamakan Safar, karena kebiasaan
orang-orang Arab zaman dulu meninggalkan tempat kediaman atau rumah mereka
(sehingga kosong) untuk berperang ataupun bepergian jauh. Ada pula yang
menyatakan bahwa nama Safar diambil dari nama suatu jenis penyakit sebagaimana
yang diyakini oleh orang-orang Arab jahiliyah pada masa dulu, yakni penyakit
safar yang bersarang di dalam perut, akibat dari adanya sejenis ulat besar yang
sangat berbahaya. Itulah sebabnya mereka menganggap bulan Safar sebagai bulan
yang penuh dengan kejelekan. Pendapat lain menyatakan bahwa Safar adalah
sejenis angin berhawa panas yang menyerang bagian perut dan mengakibatkan orang
yang terkena menjadi sakit.
Bagaimana perspektif banyak orang
terhadap bulan Safar? Ada banyak hal menarik anggapan dan kepercayaan orang
banyak terhadap bulan Safar, di antara yang terpenting dari pemahaman bulan
Safar tersebut berkaitan dengan hari Rabu, terutama Rabu terakhir, yang biasa
disebut dengan Arba Mustamir dan dalam bahasa Jawa disebut Rabu Wekasan. Dalam
anggapan masyarakat kesialan bulan Safar akan semakin meningkat jika
bertemunya dengan Rabu terakhir di bulan
yang sama. Sebab, berdasarkan riwayat yang tidak dapar dipertanggung jawabkan disebutkan bahwa Allah telah menurunkan 3333
jenis penyakit pada hari Rabu bulan Safar, sehingga jika keduanya bertemu maka
tingkat dan efek negative (kesialan) yang menyebar pada waktu itu semakin
tinggi pula. Itulah sebabnya maka sebagian kalangan masyarakat yang
mempercayainya semakin meningkatkan kewaspadaan mereka terhadap hari Rabu bulan
Safar . Sehingga dalam rangka menghindarkan terjadinya hal-hal yang tidak
diinginkan ( kesialan) , banyak orang
untuk melakukan hal-hal tertentu seperti antara lain :
1. Shalat sunnat mutlak disertai
dengan pembacaan doa tolak bala
2. Mengadakan selamatan tolak bala kampung, biasanya disertai dengan menulis rajah
di atas piring kemudian dibilas dengan
air, seterusnya dicampurkan dengan air di dalam drum supaya bisa dibagi-bagikan
kepada orang banyak untuk diminum
3. Melakukan mandi Safar untuk membuang sial, penyakit, dan
hal-hal yang tidak baik. Kebiasaan mandi Safar ini dilakukan oleh mereka yang
berdiam di daerah pinggiran sungai.
4. Tidak akan melakukan perjalanan atau
bepergian jauh
Di sebagian kalangan suku Jawa, dalam
rangka menyambut hari rabu ( Arba
Wekasan ) biasanya mereka melakukan tradisi dengan membuat kue apem dari beras,
kue tersebut kemudian dibagi-bagikan dengan tetangga. Ini dimaksudkan sebagai
sedekah dan tentu saja untuk menolak bala.Hal ini menurut mereka karena ada
hadits Nabi shallallahu’alaihi wa sallam yang menyatakan bahwa sedekah dapat menolak
bala.
Selain itu dilangan masyarakat Banjar ada
anggapan bahwa bayi yang dilahirkan pada hari Rabu bulan Safar, disyaratkan untuk
ditimbang dengan bermacam-macam kue-kue
tradisional untuk disedekahkan yang sebelumnya dibacakan doa selamat. Apabila
bayi yang lahir pada hari rabu bulan Safar tersebut tidak dilakukan upacara
penimbangan, maka dikuatirkan kelak setelah besar bayin tersebut akan menjadi
anak yang nakal dan sulit diatur.
B ermula dari sinilah kemudian muncul
berbagai anggapan berkenaan dengan bulan Safar, yang intinya sama. Bulan Safar
sebagai bulan nahas, bulan sial, bulan panas, bulan diturunkannya bala dan
penyakit, dan bulan yang harus diwaspadai keberadaannya. Karena pada bulan ini,
segala penyakit, racun, dan hal-hal yang berbau magis memiliki kekuatan yang
lebih besar dan lebih kuat dibanding pada bulan lainnya. Terlebih-lebih lagi
tatkala memasuki hari Rabu terakhir di bulan Safar, yang dinamakan dengan Arba
Mustamir atau dalam bahasa Jawa disebut Arba Wekasan.
Anggapan bahwa bulan Safar adalah
bulan yang tidak baik, memang dipahami secara umum oleh sebagian kalangan orang
Islam di negeri in i sebagaimana keyakinan dari orang-orang Arab jahiliyah pada masa
dulu. Mengapa mereka beranggapan bulan Safar sebagai bulan panas dan sial?.
Konon sebab-musabab munculnya anggapan
seperti itu adalah karena :
Pada masa atau kurun waktu ketika
ilmu-ilmu magis masih berkembang dan sangat ditakuti oleh masyarakat yang berada
pada zaman tertsebut, konon menjadi semacam kebiasaan dalam masyarakat
orang-orang tertentu yang menguasai ilmu sihir (semacam guna-guna, teluh,
santet, atau parang maya) melakukan ritual khusus untuk mengirimkan ilmunya
kepada orang lain dengan tujuan tertentu pada bulan Safar. Pada bulan Safar
katanya ilmu yang mereka lepas tersebut lebih ampuh dibanding pada bulan yang
lain, dan orang yang terkena ilmu itupun akan susah untuk disembuhkan. Jika
tujuan pelepasan ilmu untuk membuat orang yang terkena sakit maka akan sakit,
jika untuk membuat orang terpikat maka akan terpikat, bahkan keampuhan pikatan
tersebut bisa membuat orang yang terkena tergila-gila, dan seterusnya. Selain
itu konon juga para dukun pada bulan
tersebut sengaja melepaskan racun-racun yang mematikan guna mencari mangsanya
agar racun tersebut tetap mempunyai
keampuhan.
Asal Usul Lahirnya Anggapan Adanya Hari Buruk Atau Hari
Nahas (Hari Sial )
Kepercayaan tentang hari baik atau buruk itu
telah ada sejak zaman Arab Jahiliyah.
Sebagai contoh apabila seseorang itu hendak keluar rumah dan didapati ada
burung terbang atau lalu di sebelah kanan, mereka mempercayai bahwa seseorang
itu tidak akan mendapat bencana dan boleh melakukan atau meneruskan hajatnya
untuk keluar rumah. Sebaliknya jika burung itu terbang atau melintas ke sebelah
kiri, seseorang itu tidak dibolehkan
keluar rumah atau jka dia telah keluar rumah, dia harus kembali ke rumahnya dan tidak meneruskan
hajatnya. Oleh karena yang demikian,
menurut mereka burung itu terbang sebagai petanda dan petunjuk untuk mengetahui
tentang baik buruknya melakukan sesuatu pekerjaan atau sesuatu hajat seperti hendak keluar rumah.
Di dalam Al-Qur‘an Allah Subhanahu wa Ta‘ala
telah menceritakan peristiwa kaum ‘Add. Allah Subhanahu wa Ta‘ala membinasakan
mereka kerana mendustakan RasulNya dengan menurunkan angin ribut yang kencang
yang berlanjutan sehingga manusia gugur bergelempangan seperti batang-batang
pohon kurma yang terbongkar.
Peristiwa ini telah digambarkan oleh Allah
Subhanahu wa Ta‘ala dalam firmanNya :
كَذَّبَتْ
عَادٌ فَكَيْفَ كَانَ عَذَابِي وَنُذُرِ
إِنَّا أَرْسَلْنَا
عَلَيْهِمْ رِيحًا صَرْصَرًا فِي يَوْمِ نَحْسٍ مُّسْتَمِرٍّ
تَنزِعُ النَّاسَ كَأَنَّهُمْ أَعْجَازُ نَخْلٍ مُّنقَعِرٍ
فَكَيْفَ كَانَ
عَذَابِي وَنُذُرِ.
Kaum 'Aad
pun mendustakan(pula). Maka alangkah dahsyatnya azab-Ku dan
ancaman-ancaman-Ku.Sesungguhnya Kami telah menghembuskan kepada mereka angin
yang sangat kencang pada hari nahas yang terus menerus,yang menggelimpangkan
manusia seakan-akan mereka pokok korma yang tumbang.Maka alangkah dahsyatnya
azab-Ku dan ancaman-ancaman-Ku
( QS.
Al-Qamar : 18-21 )
Imam Qurtubi menceritakan bahawa menurut
Ibnu Abbas, peristiwa tersebut berlaku pada hari Rabu yang terakhir bagi bulan
itu. Yang dimaksudkan hari nahas di dalam ayat tersebut Allah Subhanahu wa
Ta‘ala membinasakan kaum ‘Add yang kafir dan orang-orang mendustakan Rasul
mereka sahaja. Dengan kata lain Allah tidak membinasakan RasulNya dan
orang-orang yang beriman dengan rasul mereka. Maka peristiwa tersebut tidak ada
kena mengena dengan hari yang membawa bencana, sial dan nahas. (Al-Qurtubi:
17/135)
Dari peristiwa tersebut sebahagian orang
mempercayai bahawa pada hari Rabu yang terakhir bagi setiap bulan adalah hari
bala diturunkan. Maka tidak ada pekerjaan atau kerja-kerja amal pada hari
tersebut.
Para
ulama mengatakan tidak terdapat satupun
hadis yang sahih mengenai turunnya bala pada hari Rabu atau pada hari Rabu yang
terakhir bagi setiap bulan. Sebahagian ulama mengatakan bahawa hadis-hadis yang
diriwayatkan berkaitan dengan perkara tersebut adalah hadis-hadis rekaan
(maudhu‘) semata-mata. Salah satu hadis maudhu‘ tersebut ialah:
“Akhir hari Rabu tiap-tiap bulan itu nahas yang berkekalan”.
Ulama
berpendapat bahawa beberapa orang perawi hadis ini adalah pendusta dan tidak
dipakai riwayatnya. Di antara mereka itu ialah Maslamah bin Al-Shilat,
Al-Abrazi, Ibrahim bin Abu Hibbah dan Isa bin Abdullah.
Berbagai Perbuatan Bid’ah di Dalam Bulan Safar
Di
berbagai daerah di Indonesia banyak diantara kalangan Muslim di dalam bulan
Safar ini melakukan berbagai perbuatan yang berkaitan dengan ritual keagamaan
yang dapat dikatagorikan sebagai perbuatan mengada-ada ( bid’ah ), dimana
perbuatan tersebut tidak pernah dikerjakan atau diperintahkan oleh Rasullullah
shallallahu’alaihi wa sallam, begitu pula oleh para sahabat maupun oleh para
tabi’in dan tabi’ut tabi’in.
Perbuatan
yang termasuk bid’ad yang dilakukan oleh sebagian kalangan muslim di bulan
Safar karena dianggap bulan nahas tersebut antara lain :
1. Shalat sunnat mutlak disertai
dengan pembacaan doa tolak bala
2. Mengadakan selamatan tolak bala kampung, biasanya disertai dengan menulis
rajah di atas piring kemudian dibilas
dengan air, seterusnya dicampurkan dengan air di dalam drum supaya bisa dibagi-bagikan
kepada orang banyak untuk diminum
3. Melakukan mandi Safar untuk membuang sial, penyakit,
dan hal-hal yang tidak baik. Kebiasaan mandi Safar ini dilakukan oleh mereka
yang berdiam di daerah pinggiran sungai.
4. Tidak akan melakukan perjalanan atau
bepergian jauh
5.Di sebagian kalangan suku Jawa,
dalam rangka menyambut hari rabu ( Arba
Wekasan ) biasanya mereka melakukan tradisi dengan membuat kue apem dari beras,
kue tersebut kemudian dibagi-bagikan dengan tetangga. Ini dimaksudkan sebagai
sedekah dan tentu saja untuk menolak bala.Hal ini menurut mereka karena ada
hadits Nabi shallallahu’alaihi wa sallam
yang menyatakan bahwa sedekah dapat menolak bala.
6.Selain itu dilangan masyarakat
Banjar ada anggapan bahwa bayi yang dilahirkan pada hari Rabu bulan Safar,
disyaratkan untuk ditimbang dengan
bermacam-macam kue-kue tradisional untuk disedekahkan yang sebelumnya dibacakan
doa selamat. Apabila bayi yang lahir pada hari rabu bulan Safar tersebut tidak
dilakukan upacara penimbangan, maka dikuatirkan kelak setelah besar bayin
tersebut akan menjadi anak yang nakal dan sulit diatur.
Segala bentuk perbuatan yang dilakukan
dalam rangka mengantisipasi datangnya kesialan dalam bulan Safar sebagaimana
disebutkan diatas selain sebagai perbuatan bid’ah juga termasuk perbuatan yang
khurafat,
Larangan Menganggap Adanya Hari atau Bulan Sial
Asy-Syaikh
Muhammad bin Ibrahim Alusy Syaikh rahimahullahu dalam memberikan jawaban atas
pertanyaan apakah dibolehkan bagi seseorang untuk menganggap sial angka
tertentu, demikian pula hari, bulan dan seterusnya menyebutkan
“Tidak
boleh, bahkan hal itu termasuk kebiasaan orang-orang jahiliyyah yang syirik, di
mana Islam datang untuk menolak dan membatilkannya. Dalil-dalil yang ada
demikian jelas menyatakan keharaman kebiasaan tersebut. Perbuatan atau anggapan
sial seperti itu termasuk kesyirikan dan sebenarnya tidak ada pengaruhnya dalam
menarik kemanfaatan atau menolak kemudaratan, karena tidak ada yang memberi,
yang menolak, yang memberi manfaat dan memberi mudarat kecuali Allah Subhanahu
wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَإِنْ يَمْسَسْكَ
اللهُُ بِضُرٍّ فَلاَ كَاشِفَ لَهُ إِلاَّ هُوَ وَإِنْ يُرِدْكَ بِخَيْرٍ فَلاَ رَادَّ
لِفَضْلِهِ
“Jika Allah menimpakan kepadamu kemudaratan
maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia dan bila Dia menghendaki
kebaikan bagimu maka tidak ada yang dapat menolak keutamaan-Nya.” (Yunus:
107)
Dalam
hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma disebutkan bahwa Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
مسند أحمد
٢٥٣٧: حَدَّثَنَا يُونُسُ حَدَّثَنَا لَيْثٌ عَنْ قَيْسِ بْنِ الْحَجَّاجِ عَنْ حَنَشٍ
الصَّنْعَانِيِّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ
حَدَّثَهُ
أَنَّهُ رَكِبَ خَلْفَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا
فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا غُلَامُ إِنِّي
مُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ احْفَظْ اللَّهَ يَحْفَظْكَ احْفَظْ اللَّهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ
وَإِذَا سَأَلْتَ فَلْتَسْأَلْ اللَّهَ وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ
وَاعْلَمْ أَنَّ الْأُمَّةَ لَوْ اجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ يَنْفَعُوكَ لَمْ يَنْفَعُوكَ
إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ لَكَ وَلَوْ اجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ يَضُرُّوكَ
لَمْ يَضُرُّوكَ إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ عَلَيْكَ رُفِعَتْ الْأَقْلَامُ
وَجَفَّتْ الصُّحُفُ
Musnad
Ahmad 2537: dari Abdullah bin Abbas bahwa
ia menceritakan kepadanya; pada suatu hari ia menunggang di belakang Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam, lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda kepadanya: "Wahai anakku, aku akan mengajarkan kepadamu beberapa
kalimat; Jagalah Allah niscaya Dia akan menjagamu, Jagalah Allah niscaya engkau
mendapatiNya di hadapanmu. Jika engkau meminta maka mintalah kepada Allah, dan
jika engkau memohon pertolongan maka mohonlah pertolongan kepada Allah.
Ketahuilah, seandainya umat ini bersatu untuk memberi manfaat kepadamu, niscaya
mereka tidak akan mampu memberikan manfaat kepadamu kecuali dengan sesuatu yang
telah Allah tetapkan padamu. Dan seandainya mereka bersatu untuk mencelakakan
dirimu, niscaya mereka tidak akan mampu mencelakakanmu kecuali dengan sesuatu
yang telah Allah tetapkan padamu. Pena telah diangkat dan lembaran telah
kering."
Diriwayatkan
pula sabda rasullullah shallallahu’alahi wa sallam dari Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu mengabarkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah bersabda:
صحيح البخاري
٥٣٢٨: حَدَّثَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ يُوسُفَ أَخْبَرَنَا
مَعْمَرٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ قَالَ
قَالَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا عَدْوَى وَلَا صَفَرَ وَلَا هَامَةَ فَقَالَ
أَعْرَابِيٌّ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَمَا بَالُ الْإِبِلِ تَكُونُ فِي الرَّمْلِ كَأَنَّهَا
الظِّبَاءُ فَيُخَالِطُهَا الْبَعِيرُ الْأَجْرَبُ فَيُجْرِبُهَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَمَنْ أَعْدَى الْأَوَّلَ
وَعَنْ أَبِي
سَلَمَةَ سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ بَعْدُ يَقُولُ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُورِدَنَّ مُمْرِضٌ عَلَى مُصِحٍّ وَأَنْكَرَ أَبُو هُرَيْرَةَ
حَدِيثَ الْأَوَّلِ قُلْنَا أَلَمْ تُحَدِّثْ أَنَّهُ لَا عَدْوَى فَرَطَنَ بِالْحَبَشِيَّةِ
قَالَ أَبُو سَلَمَةَ فَمَا رَأَيْتُهُ نَسِيَ حَدِيثًا غَيْرَهُ
Shahih
Bukhari 5328: dari Abu Hurairah
radliallahu 'anhu dia berkata; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Tidak ada 'adwa (keyakinan adanya penularan penyakit) tidak ada shafar
(menganggap bulan shafar sebagai bulan haram atau keramat) dan tidak pula
hammah (keyakinan jahiliyah tentang rengkarnasi)." Lalu seorang Arab badui
berkata; "Wahai Rasulullah, lalu bagimana dengan unta yang ada di padang
pasir, seakan-akan (bersih) bagaikan gerombolan kijang lalu datang padanya unta
berkudis dan bercampur baur dengannya sehingga ia menularinya?" Maka Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Lalu siapakah yang menulari yang
pertama?" Setelah itu Abu Salamah mendengar Abu Hurairah mengatakan; Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Janganlah (unta) yang sakit
dicampurbaurkan dengan yang sehat." -sepertinya Abu Hurairah mengingkari
hadits yang pertama- maka kami bertanya; "Tidakkah anda pernah menceritakan
bahwa tidak ada 'adwa (keyakinan adanya penularan penyakit)." Lalu dia
bicara dengan bahasa Habasyah, maka aku tidak pernah melihatnya lupa terhadap
hadits selain hadits di atas."
Dalam
hadits ini penetap syariat (yakni Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam)
menolak thiyarah berikut apa yang disebutkan dalam hadits. Beliau mengabarkan
bahwa thiyarah itu tidak ada wujudnya dan tidak ada pengaruhnya. Thiyarah itu
hanyalah anggapan-anggapan keliru dan khayalan-khayalan rusak di dalam hati.
Sabda Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam: (وَلاَ صَفَرَ) menolak keyakinan orang-orang
jahiliyyah yang menganggap bulan Shafar sebagai bulan sial, mereka mengatakan
bulan Shafar adalah bulan bencana. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun
meniadakan kebenaran anggapan tersebut dan membatilkannya. Beliau kabarkan
bahwa bulan Shafar itu sama dengan bulan yang lain, tidak ada pengaruhnya dalam
menarik kemanfaatan dan menolak mudarat. Demikian pula hari-hari, malam-malam
dan waktu-waktu lain, tidak ada bedanya. Dulunya orang jahiliyyah menganggap
sial hari Rabu, menganggap sial untuk melangsungkan pernikahan di bulan Syawwal
secara khusus. Sehingga Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahiku di bulan Syawwal, maka siapakah yang
lebih memiliki keutamaan/keberuntungan daripada diriku?”
Hal ini
seperti anggapan sial orang-orang Rafidhah terhadap angka sepuluh, dan mereka
tidak suka dengan angka ini karena kebencian dan permusuhan mereka terhadap
Al-’Asyrah Al-Mubasysyarina bil jannah (10 shahabat Rasulullah yang diberi
kabar gembira masuk surga ketika mereka masih hidup4). Yang demikian itu
disebabkan kebodohan dan kedunguan akal mereka.
Demikian
pula ahli nujum, mereka membagi waktu menjadi waktu nahas dan sial. Yang kedua;
waktu bahagia dan baik. Tidaklah samar lagi haramnya ramalan bintang ini dan ia
termasuk jenis sihir.
Ibnul
Qayyim rahimahullahu berkata: “Tathayyur adalah menganggap sial dengan apa yang
dilihat dan apa yang didengar. Bila seseorang melakukan tathayyur ini, ia
membatalkan safar yang semula hendak dilakukannya dan ia menarik diri dari
perkara yang semula ia bersikukuh padanya, dengan begitu berarti ia telah
mengetuk pintu kesyirikan bahkan ia telah masuk ke dalamnya. Ia berlepas diri
dari tawakal kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ia membuka untuk dirinya pintu
ketakutan dan bergantung kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Orang yang
menganggap sial dengan apa yang dilihat atau didengarnya berarti telah
memutuskan diri dari apa yang dinyatakan dalam ayat berikut:
إِيَّاكَ نَعْبُدُ
وإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
Hanya Engkaulah yang kami sembah [6], dan hanya kepada Engkaulah
kami meminta pertolongan. [7]( QS.Al Fatihah
: 5 )
Keterangan “
[6]
Na'budu diambil dari kata 'ibaadat: kepatuhan dan ketundukkan yang ditimbulkan
oleh perasaan terhadap kebesaran ALlah, sebagai Tuhan yang disembah, karena
berkeyakinan bahwa Allah mempunyai kekuasaan yang mutlak terhadapnya. [7]
Nasta'iin (minta pertolongan), terambil dari kata isti'aanah: mengharapkan
bantuan untuk dapat menyelesaikan suatu pekerjaan yang tidak sanggup dikerjakan
dengan tenaga sendiri.
Firman
Allah ta’ala :
وَلِلّهِ غَيْبُ
السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَإِلَيْهِ يُرْجَعُ الأَمْرُ كُلُّهُ فَاعْبُدْهُ وَتَوَكَّلْ
عَلَيْهِ وَمَا رَبُّكَ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ
Dan kepunyaan Allah-lah apa yang ghaib di langit dan di bumi dan
kepada-Nya-lah dikembalikan urusan-urusan semuanya, maka sembahlah Dia, dan
bertawakkallah kepada-Nya. Dan sekali-kali Tuhanmu tidak lalai dari apa yang
kamu kerjakan. ( Qs. Huud :m 123)
Jadilah hatinya
bergantung kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala baik dalam bentuk ibadah
ataupun tawakal, sehingga rusaklah hatinya, iman, dan keadaannya. Tinggallah
hatinya menjadi sasaran thiyarah dan senantiasa digiring kepadanya. Syaitan pun
mendatangi orang yang telah rusak agama dan dunianya ini. Berapa banyak orang
yang binasa karenanya dan ia merugi di dunia dan di akhirat. Dalil-dalil
tentang haramnya tathayyur dan tasyaum (menganggap sial) ini ma`ruf dan
terdapat pada tempat-tempat pembahasannya, maka kita cukupkan dengan apa yang
telah disebutkan. (Fatawa Al-Mar`ah Al-Muslimah 1/132-134)
Tidak Seorangpun Akan Mendapatkan Kebaikan Atau Keburukan
Kecuali Apa Yang Telah Ditetapkan Allah Azza Wa jalla
Seluruh
hal yang berkaitan dengan kehidupan manusia, meliputi keburukan maupun kebaika, seluruhnya telah ditetapkan
melalui takdir Allah subhanahu wa ta’ala sesuai dengan Firman-N ya :
قُلْ مَن ذَا
الَّذِي يَعْصِمُكُم مِّنَ اللَّهِ إِنْ أَرَادَ بِكُمْ سُوءًا أَوْ أَرَادَ بِكُمْ
رَحْمَةً وَلَا يَجِدُونَ لَهُم مِّن دُونِ اللَّهِ وَلِيًّا وَلَا نَصِيرًا
Katakanlah: "Siapakah yang dapat melindungi kamu dari
(takdir) Allah jika Dia menghendaki bencana atasmu atau menghendaki rahmat
untuk dirimu?" Dan orang-orang munafik itu tidak memperoleh bagi mereka
pelindung dan penolong selain Allah ( QS.Al
Ahzab : 17 ).
Sedangkan
Takdir bagi manusiaitu sendiri
ditetapkan oleh Allah azza wa jalla 50.000 tahun sebelum dunia
diciptakan sebagaimana sabda Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam :
صحيح مسلم
٤٧٩٧: حَدَّثَنِي أَبُو الطَّاهِرِ أَحْمَدُ بْنُ عَمْرِو بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ
سَرْحٍ حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنِي أَبُو هَانِئٍ الْخَوْلَانِيُّ عَنْ أَبِي
عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْحُبُلِيِّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ قَالَ
سَمِعْتُ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ كَتَبَ اللَّهُ مَقَادِيرَ الْخَلَائِقِ
قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ قَالَ وَعَرْشُهُ
عَلَى الْمَاءِ
حَدَّثَنَا
ابْنُ أَبِي عُمَرَ حَدَّثَنَا الْمُقْرِئُ حَدَّثَنَا حَيْوَةُ ح و حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ
بْنُ سَهْلٍ التَّمِيمِيُّ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي مَرْيَمَ أَخْبَرَنَا نَافِعٌ يَعْنِي
ابْنَ يَزِيدَ كِلَاهُمَا عَنْ أَبِي هَانِئٍ بِهَذَا الْإِسْنَادِ مِثْلَهُ غَيْرَ
أَنَّهُمَا لَمْ يَذْكُرَا وَعَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ
Shahih Muslim
4797: Telah menceritakan kepadaku Abu Ath
Thahir Ahmad bin 'Amru bin dari 'Abdullah bin 'Amru bin Al 'Ash dia berkata;
"Saya pernah mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Allah telah menentukan takdir bagi semua makhluk lima puluh tahun sebelum
Allah menciptakan langit dan bumi.' Rasulullah menambahkan: 'Dan arsy Allah itu
berada di atas air." Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu 'Umar; Telah
menceritakan kepada kami Al Muqri; Telah menceritakan kepada kami Haiwah; Demikian
juga diriwayatkan dari jalur lainnya, Dan telah menceritakan kepadaku Muhammad
bin Sahl At Tamimi; Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Maryam; Telah
mengabarkan kepada kami Nafi' yaitu Ibnu Yazid keduanya dari Abu Hani melalui
jalur ini dengan Hadits yang serupa. Namun keduanya tidak menyebutkan lafazh:
"Dan 'arsy Allah itu berada di atas air."
Segala
sesuatu itu sesungguhnya itu sesuai dengan apa yang digariskan oleh Allah
subhanahu wa ta’ala berupa takdir sebagimana yang disebutkan dalam Hadits
Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam :
صحيح مسلم
٤٧٩٩: حَدَّثَنِي عَبْدُ الْأَعْلَى بْنُ حَمَّادٍ قَالَ قَرَأْتُ عَلَى مَالِكِ بْنِ
أَنَسٍ ح و حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ عَنْ مَالِكٍ فِيمَا قُرِئَ عَلَيْهِ
عَنْ زِيَادِ بْنِ سَعْدٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ مُسْلِمٍ عَنْ طَاوُسٍ أَنَّهُ قَالَ أَدْرَكْتُ
نَاسًا مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُونَ
كُلُّ شَيْءٍ بِقَدَرٍ قَالَ
وَسَمِعْتُ
عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ كُلُّ شَيْءٍ بِقَدَرٍ حَتَّى الْعَجْزِ وَالْكَيْسِ أَوْ الْكَيْسِ وَالْعَجْزِ
Shahih
Muslim 4799: dari 'Amru bin Muslim dari
Thawus dia berkata; "Saya pernah mendapati beberapa orang sahabat
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengatakan; 'Segala sesuatu itu sesuai
takdirnya.' Ibnu Thawus berkata; 'Saya pernah mendengar Abdullah bin Umar
mengatakan; 'Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah bersabda: 'Segala
sesuatu itu sesuai takdirnya, hingga kelemahan dan kecerdasan (atau kecerdasan
dan kelemahan.
Sesungguhnya
manusia hanyalah menjalani sekanario yang telah digariskan, tidak ada campur
tangan manusia di dalamnya. Segala liku-luku dan seluk beluk kehidupan baik
berupa kebaikan maupun keburukan sudah
tersurat dalam takdir. Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam dalam sebuah
hadits yang diriwayatkan dalam shahih Bukhari menyebutkan :
صحيح البخاري
٤٥٦٨: حَدَّثَنَا آدَمُ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ الْأَعْمَشِ قَالَ سَمِعْتُ سَعْدَ
بْنَ عُبَيْدَةَ يُحَدِّثُ عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ السُّلَمِيِّ عَنْ عَلِيٍّ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ
كَانَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي جَنَازَةٍ فَأَخَذَ شَيْئًا فَجَعَلَ يَنْكُتُ
بِهِ الْأَرْضَ فَقَالَ مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ إِلَّا وَقَدْ كُتِبَ مَقْعَدُهُ
مِنْ النَّارِ وَمَقْعَدُهُ مِنْ الْجَنَّةِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا نَتَّكِلُ
عَلَى كِتَابِنَا وَنَدَعُ الْعَمَلَ قَالَ اعْمَلُوا فَكُلٌّ مُيَسَّرٌ لِمَا خُلِقَ
لَهُ أَمَّا مَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ السَّعَادَةِ فَيُيَسَّرُ لِعَمَلِ أَهْلِ السَّعَادَةِ
وَأَمَّا مَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الشَّقَاءِ فَيُيَسَّرُ لِعَمَلِ أَهْلِ الشَّقَاوَةِ
ثُمَّ قَرَأَ
{ فَأَمَّا
مَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى }
الْآيَةَ
Shahih
Bukhari 4568: dari Abu Abdurrahman As
Sulami dari Ali radliallahu 'anhu ia berkata; Suatu ketika Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam berada dalam rombongan pelayat Jenazah, lalu beliau mengambil
sesuatu dan memukulkannya ke tangah. Kemudian beliau bersabda: "Tidak ada
seorang pun, kecuali tempat duduknya telah ditulis di neraka dan tempat
duduknya di surga." Para sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah, kalau
begitu, bagaimana bila kita bertawakkal saja terhadap takdir kita tanpa
beramal?" beliau menajawab: "Ber'amallah kalian, karena setiap orang
akan dimudahkan kepada yang dicipta baginya. Barangsiapa yang diciptakan sebagai
Ahlus Sa'adah (penduduk surga), maka ia akan dimudahkan untuk mengamalkan
amalan Ahlus Sa'adah. Namun, barangsiapa yang diciptakan sebagai Ahlusy Syaqa`
(penghuni neraka), maka ia akan dimudahkan pula untuk melakukan amalan Ahlusy
Syaqa`." Kemudian beliau membacakan ayat: "FA`AMMAA MAN `A'THAA WAT
TAQAA WA SHADDAQA BIL HUSNAA (Dan barangsiapa yang memberi, dan bertakwa serta
membenarkan kebaikan).."
Sebagai
makhluk yang diciptalan Allah azza wajjala,
manusia wajib mengimani bahwa apa yang telah ditakdirkan menjadi bagian
yang tidak pernah meleset dan apa yang tidak ditakdirkan untuk menjadi bagian
dari seseorang tidak akan didapatkan olehnya. Jalan hidup manusia tidak pernah luput dari apa yang
telah ditakdirkan sebagaimana sabda
rasullullah shallallahu’alahi wa sallam :
سنن أبي داوود
٤٠٧٨: حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ مُسَافِرٍ الْهُذَلِيُّ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ حَسَّانَ
حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ رَبَاحٍ عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ أَبِي عَبْلَةَ عَنْ أَبِي
حَفْصَةَ قَالَ
قَالَ عُبَادَةُ
بْنُ الصَّامِتِ لِابْنِهِ يَا بُنَيَّ إِنَّكَ لَنْ تَجِدَ طَعْمَ حَقِيقَةِ الْإِيمَانِ
حَتَّى تَعْلَمَ أَنَّ مَا أَصَابَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَكَ وَمَا أَخْطَأَكَ لَمْ
يَكُنْ لِيُصِيبَكَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ
إِنَّ أَوَّلَ مَا خَلَقَ اللَّهُ الْقَلَمَ فَقَالَ لَهُ اكْتُبْ قَالَ رَبِّ وَمَاذَا
أَكْتُبُ قَالَ اكْتُبْ مَقَادِيرَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى تَقُومَ السَّاعَةُ يَا بُنَيَّ
إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ مَاتَ
عَلَى غَيْرِ هَذَا فَلَيْسَ مِنِّي
Sunan Abu
Daud 4078 dari Abu Hafshah ia berkata;
Ubadah bin Ash Shamit berkata kepada anaknya, "Wahai anakku, sesungguhnya
engkau tidak akan dapat merasakan lezatnya iman hingga engkau bisa memahami
bahwa apa yang ditakdirkan menjadi bagianmu tidak akan meleset darimu, dan apa
yang tidak ditakdirkan untuk menjadi bagianmu tidak akan engkau dapatkan. Aku
pernah mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Pertama kali yang Allah ciptakan adalah pena, lalu Allah berfirman kepadanya:
"Tulislah!" pena itu menjawab, "Wahai Rabb, apa yang harus aku
tulis?" Allah menjawab: "Tulislah semua takdir yang akan terjadi
hingga datangnya hari kiamat." Wahai anakku, aku pernah mendengar
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa meninggal
tidak di atas keyakinan seperti ini maka ia bukan dari golonganku."
Sejalan
dengan itu segala yang menimpa anak manusia itu datangnya dari Allah azza wa
jalla, bukan oleh sebab yang lain. Apabila ada yang beranggapan bahwa kebaikan
maupun keburukan yang menimpa manusia itu dikarenakan adanya hari sial yang
membawa nahas, berarti mereka menganggpan bahwa ada kekuatan lain selain
Allah yang mampun memberikan kebaikan
maupun kebahagaian kepada munusia, m aka orang-orang tersebut b erarti telah
melakukan kesyirikan.
Beliau
menjawab bahwa jika ada orang mempercayai adanya hari nahas (sial) dengan
tujuan mengharuskan untuk berpaling darinya atau menghindarkan suatu pekerjaan
pada hari tersebut dan menganggapnya terdapat kesialan, maka sesungguhnya yang
demikian ini termasuk tradisi kaum Yahudi dan bukan sunnah kaum muslimin yang
selalu tawakkal kepada Allah dan tidak berprasangka buruk terhadap Allah.
Sedangkan
jika ada riwayat yang menyebutkan tentang hari yang harus dihindari karena
mengandung kesialan, maka riwayat tersebut adalah bathil, tidak benar,
mengandung kebohongan dan tidak mempunyai sandaran dalil yang jelas, untuk itu
jauhilah riwayat seperti ini. (Fatawa Al Haditsiyah)
Kita
semua yakin bahwa terjadinya musibah atau gejala alam yang menimpa manusia,
bukan karena adanya hari nahas atau karena adanya binatang tertentu atau karena
adanya kematian seseorang. Yang kita yakini adalah semua yang terjadi di alam
ini adalah dengan takdir dan kehendak Allah.
Hari-hari,
bulan, matahari, bintang dan makhluk lainnya tidak bisa memberikan manfaat atau
madlarat (bahaya), tetapi yang memberi manfaat dan madlarat adalah Allah
semata. Maka meyakini ada hari nahas atau hari sial yang menyebabkan seorang
muslim menjadi pesimis, tentunya itu bukan ajaran Islam yang dibawa oleh
Rasulullah.
Semua
hari adalah baik, dan masing-masing ada keutamaan tersendiri. Hari dimana kita
menjaganya dan mengisinya dengan kebaikan dan ketaatan, itulah hari yang sangat
menggembirakan dan hari raya buat kita. Seperti dikatakan oleh ulama Salaf,
hari rayaku adalah setiap hari dimana aku tidak bermaksiat kepada Allah pada
hari itu, dan tidak tertentu pada suatu hari saja.
Syiriknya Orang-Orang Yang Beranggapan Bahwa Sesuatu (
Hari/Bulan ) Dapat Mendatangkan Kesialan
Sejalan
dengan apa yang telah diraikan diatas
bahwa sesungguhnya segala yang menimpa anak manusia itu datangnya dari
Allah azza wa jalla, bukan oleh sebab yang lain. Apabila ada yang beranggapan
bahwa kebaikan maupun keburukan yang menimpa manusia itu dikarenakan adanya
hari sial yang membawa nahas, berarti mereka menganggpan bahwa ada kekuatan
lain selain Allah yang mampu memberikan
kebaikan maupun kebahagaian kepada munusia, maka orang-orang tersebut berarti
telah melakukan kesyirikan.
Jika ada
orang mempercayai adanya hari atau bulan nahas (sial) dengan tujuan mengharuskan untuk
berpaling darinya atau menghindarkan suatu pekerjaan pada hari tersebut dan
menganggapnya terdapat kesialan, maka sesungguhnya yang demikian ini termasuk
tradisi kaum Yahudi dan bukan sunnah kaum muslimin yang selalu tawakkal kepada
Allah dan tidak berprasangka buruk terhadap Allah.
Sabda
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassallam :
سنن الترمذي
١٥٣٩: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ
حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ سَلَمَةَ بْنِ كُهَيْلٍ عَنْ عِيسَى بْنِ عَاصِمٍ عَنْ زِرٍّ
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ
قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الطِّيَرَةُ مِنْ الشِّرْكِ وَمَا مِنَّا
وَلَكِنَّ اللَّهَ يُذْهِبُهُ بِالتَّوَكُّلِ
قَالَ أَبُو
عِيسَى وَفِي الْبَاب عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ وَحَابِسٍ التَّمِيمِيِّ وَعَائِشَةَ وَابْنِ
عُمَرَ وَسَعْدٍ وَهَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ لَا نَعْرِفُهُ إِلَّا مِنْ حَدِيثِ
سَلَمَةَ بْنِ كُهَيْلٍ وَرَوَى شُعْبَةُ أَيْضًا عَنْ سَلَمَةَ هَذَا الْحَدِيثَ قَالَ
سَمِعْت مُحَمَّدَ بْنَ إِسْمَعِيلَ يَقُولُ كَانَ سُلَيْمَانُ بْنُ حَرْبٍ يَقُولُ
فِي هَذَا الْحَدِيثِ وَمَا مِنَّا وَلَكِنَّ اللَّهَ يُذْهِبُهُ بِالتَّوَكُّلِ قَالَ
سُلَيْمَانُ هَذَا عِنْدِي قَوْلُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ وَمَا مِنَّا
Sunan
Tirmidzi 1539: dari Abdullah bin Mas'ud
ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Sesungguhnya thiyarah (pesimis) bagian dari syirik dan bukan bagian dari
ajaran kami, justru Allah akan menghilangkan thiyarah (pesimis) itu dengan
bertawakkal kepada-Nya." Abu Isa berkata, "Dalam bab ini juga ada
hadits dari Abu Hurairah, Habis At Tamimi, 'Aisyah, Ibnu Umar dan Sa'd. Hadits
Hadits
dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ عَدْوَى
، وَلاَ طِيَرَةَ ، وَلاَ هَامَةَ ، وَلاَ صَفَرَ
“Tidak dibenarkan menganggap penyakit menular
dengan sendirinya (tanpa ketentuan Allah), tidak dibenarkan beranggapan sial,
tidak dibenarkan pula beranggapan nasib malang karena tempat, juga tidak
dibenarkan beranggapan sial di bulan Shafar” (HR. Bukhari no. 5757 dan
Muslim no. 2220).
Dalam
hadits ini disebutkan tidak bolehnya beranggapan sial secara umum, juga pada
tempat dan waktu tertentu seperti pada hari-hari dan bulan tertentu ( bulan Safar).
Ketahuilah
bawa sesungguhnya musibah-musibah
tersebut tidak akan terjadi kecuali dengan qadha dan qadar Allah subhanahu wa
ta’ala. Bukan karena sesuatu yang lain dari makhluk-makhluk Allah subhanahu wa
ta’ala, melainkan semua itu sesuai dengan qadha dan qadar-Nya. Di dalam
Al-Qur'an surah Al-Hadid ayat 22 disebutkan firman Allah ta’ala :
مَا أَصَابَ
مِن مُّصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِّن قَبْلِ
أَن نَّبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ
Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula)
pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh)
sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi
Allah.( Qs.Al Hadiit : 22 )
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengingatkan kita bahawa orang yang
mempercayai keburukan itu datangnya daripada sesuatu, bukan dari Allah maka ia
telah berbuat syirik. Sesuai dengan sabda Rasullullah shallallahu’alahi wa
sallam :
"Menyandarkan keburukan kepada sesuatu adalah syirik, dan
tidak termasuk dalam golongan kami melainkan (orang-orang yang beriman) sahaja,
dan Allah akan menghilangkan syirik itu dengan tawakkal”(Hadis riwayat Ibnu Majah)
Selain
itu, Rasululah Shallallahu ‘alaihi wasllam juga menyuruh umatnya agar sentiasa
menyangka baik (al-fa’lu) terhadap sesuatu kejadian itu kerana sangka baik
terhadap sesuatu itu suatu cita-cita dan harapan untuk mendapat kebaikan
daripada Allah Subhanahu wa Ta‘ala. Sebaliknya sangka buruk terhadap sesuatu
(tasya’um) ialah sangka buruk terhadap Allah Subhanahu wa Ta‘ala. Hal ini telah
dijelaskan oleh Rasullullah shallallahu’alahi wa sallam dalam sabdanya :
صحيح البخاري
٥٣٣١: حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا
شُعْبَةُ قَالَ سَمِعْتُ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
عَنْ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ وَيُعْجِبُنِي
الْفَأْلُ قَالُوا وَمَا الْفَأْلُ قَالَ كَلِمَةٌ طَيِّبَةٌ
Shahih
Bukhari 5331: dari Anas bin Malik radliallahu
'anhu dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam beliau bersabda: "Tidak ada
'adwa (keyakinan adanya penularan penyakit) dan tidak pula thiyarah (menganggap
sial pada sesuatu sehingga tidak jadi beramal) dan yang menakjubkanku adalah al
fa'lu." Mereka bertanya; "Apakah al fa'lu itu?" beliau menjawab:
"Kalimat yang baik."
Dari
apa-apa yang diungkapkan diatas bahwa menganggap atau meyakini adanya bulan
Safar sebagai bulan yang nahas atau
mendatangkan kesialan berarti telah
berbuat syirik, karena sama saja beranggapan bahwa bulan Safar tersebut mempunyai kekuatan untuk mendatangkan kesialan
dalam berbagai bentuknya ( musibah dan lain-lainnya). Padahal bulan Safar
bagian dari waktu adalah makhluk yang diciptakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala.
Sehingga dengan meyakini bulan dapat
mendatangkan kesialan berarti sama saja dengan menganggap bulan Safar tersebut sama kedudukannya dengan Allah yang
menciptakannya, hal ini tiada lain merupakan sebuah kesyirikan.
P e n u t u p
Allah
subhanahu wa ta’ala berfirman
هُوَ الَّذِي
جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاء وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُواْ عَدَدَ
السِّنِينَ وَالْحِسَابَ مَا خَلَقَ اللّهُ ذَلِكَ إِلاَّ بِالْحَقِّ يُفَصِّلُ الآيَاتِ
لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya
dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu,
supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak
menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak Dia menjelaskan tanda-tanda
(kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.(QS.Yunus : 5 _)
Dari ayat
tersebut diatas Allah subhanahu wa ta’ala menjelaskan bahwa peredaran bulan
tiada lain semata untuk mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu yang
termasuk di dalamnya bulan Safar. Karenanya hari itu tidak mempunyai samasekali
kekuatan atau kemampuan yang dapat men datangkan kesialan bagi manusia.
Apa saja
yang terjadi pada diri manusia baik berupa kebaikan atau keburukan (kesialan)
semuanya datang dari Allah azza wa jalla, bukan datang dari siapa-siapa, bukan
datang dari bulan Safar. Sehingga barang siapa diantara manusia yang
beranggapan bahwa bulan Safar sebagai bulan sial
maka ia telah menyamakan
kedudukan hari tersebut dengan Alllah, dan ini termasuk perbuatan
syirik.
Sepatutnyalah
kita sebagai umat yang mentauhidkan Allah menjauhkan diri dari perbuatan dan
perilaku syirik seperti menganggap atau meyakini bahwa bulan Safar bulan nahas yang dapat mendatangkan kesialan. ( Wallaahu’alam )
Sumber :
1.Al-Qur’an
dan Terjemahan, www.salafi-db.com
2.Ensiklopedi
Hadits Kitab 9 imam, www.lidwapusaka.com
3.Majalah
Asy-Syari’ah, Vol.III/No.29/1428H/2007
4.milis
yahoogroups
5.www.madinatulilmi.com
6.www.akhwat.web.id
7.Artikel www. Rumah banjar.com
Selesai disusun,
Selasa ba’da ashar 27 Muharram 1434/11
Desember 2012
( Musni
Japrie )
Pemahaman ini bersumber pada penafsiran Al-Qur’an surat Al-Qomar ayat 19 “Sesungguhnya Kami telah menghembuskan kepada mereka angin yang sangat kencang pada hari nahas yang terus menerus”. (Q.S. Al-Qomar : 19)
BalasHapusKalimat Yaumu Naĥsin disana difahami oleh sebagian ‘Ulamà sebagai hari rabu sebagaimana yang telah dikatakan Ibnu ‘Abbas, “Tidaklah suatu kaum mendapatkan siksa melainkan pada hari rabu”. dan diperkuat dengan perkataan Al-Qozwiny yaitu “Hari rabu merupakan hari yang terdapat sedikit kebajikan, dan hari rabu pada akhir bulan merupakan hari sial yang terus menerus”.
Istilah Rebo Wekasan mulai dipopulerkan di Indonesia pada sekitar tahun 1987 Masehi. Kemungkinan besar istilah ini mulai disebarkan oleh para murid dan anak angkat dari Syeikh Shoghir/Ni’mat yang pada waktu itu beliau satu-satunya Hakim Mahkamah Syar’i di Mekah yang berasal dari kalangan melayu, selain itu beliau juga terkenal sebagai syeikh haji yang sangat masyhur pada zamannya. Pada tahun 1987 ini, kitab besar karya Syeikh Ni’mat yang berjudul al Bahjatu al Marďiyyaħ fī Fawāidi al Ukhrawiyyaħ, tertanggal 20 Sya’ban 1296 H/1878 M di Makkaħ al Musyarrafaħ mulai banyak diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa.
ulama yang menolak adanya bulan sial dan hari nahas Rebo Wekasan berpendapat (dikutip dengan penyesuaian):
1. Tidak ada nash hadits khusus untuk akhir Rabu bulan Shofar, yang ada hanya nash hadits dla’if yang menjelaskan bahwa setiap hari Rabu terakhir dari setiap bulan adalah hari naas atau sial yang terus menerus, dan hadits dla’if ini tidak bisa dibuat pijakan kepercayaan.
2. Tidak ada anjuran ibadah khusus dari syara’.Ada anjuran dari sebagian ulama’ tasawwuf namun landasannya belum bisa dikategorikan hujjah secara syar’i.
3. Tidak boleh, kecuali hanya sebatas sholat hajat lidaf’ilbala’almakhuf (untuk menolak balak yang dihawatirkan) atau nafilah mutlaqoh (sholat sunah mutlak) sebagaimana diperbolehkan oleh Syara’, karena hikmahnya adalah agar kita bisa semakin mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala.
Mengutip pandangan Rais Syuriah PWNU Jawa Timur, KH Miftakhul Akhyar tentang hadits kesialan terus menerus pada Rabu terakhir tiap bulan, dinyatakan:
“Naas yang dimaksud adalah bagi mereka yang meyakininya, bagi yang mempercayainya, tetapi bagi orang-orang yang beriman meyakini bahwa setiap waktu, hari, bulan, tahun ada manfaat dan ada mafsadah, ada guna dan ada madharatnya. Hari bisa bermanfaat bagi seseorang, tetapi juga bisa juga naas bagi orang lain…artinya hadits ini jangan dianggap sebagai suatu pedoman, bahwa setiap Rabu akhir bulan adalah hari naas yang harus kita hindari. Karena ternyata pada hari itu, ada yang beruntung, ada juga yang buntung. Tinggal kita berikhtiar meyakini, bahwa semua itu adalah anugerah Allah.” Wallahu ‘A’lam.
Assalamu'alaikum admin, artikel yang bagus dan memotiasi syukron.
BalasHapusSaya lahir pada Bulan safar di hari rabo wakasan, kata orang Bulan Dan hari itu adalah hari naas atau sial. Saya tidak mau mempercayai Hal itu berlebih-lebihan, Karena saya yakin setiap Bulan itu baik, setiap hari itu baik,ketika musibah slalu datang bertubi2 anggap saja itu adlah sebuah coaban dari Allah Ta'ala yang mesti kita mesti kita sikapi dengan cara beribadah Dan beryukur atas segala nikmat-Nya. Ammiin
Wassalmu'laikum