M U K A D D I M A H :Sesungguhnya, segala puji bagi Allah, kita memuji-Nya, memohon pertolongan dan ampunan-Nya. Kami meminta perlindungan kepada-Nya dari kejahatan diri kami serta keburukan amal perbuatan kami. Aku bersaksi bahwa tidak ada Rabb yang berhak diibadahi melainkan Allah semata, yang tidak ada sekutu baginya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad shalallahu’alaihi wa sallam adalah hamba dan utusannya.
Sabtu, 22 Oktober 2011
" Jauhilah Sikap Anti Pemimpin/Pemerintah "
Hari ini berita mengenai tewasnya pemimpin Libya yang terkenal Muamar Khadafy menjadi head line di hampir seluruh surat-surat kabar maupun televisi, bagaimana mantan orang nomor satu di negeri Islam yang disegani oleh banyak negara dihabisi secara berutal dan sadis dalam keadaan tidak berdaya dieksekusi oleh bekas rakyatnya sendiri ditengah eforia kemenangan kaum pemberontak dan oposisi yang merebut kekuasaan sah.
Sesungguhnya perbuatan seperti yang dilakukan oleh rakyat sebagian besar rakyat Libya dan dibanyak negara-negara yang mayoritas penduduknya umat islam seperti Tunisia, Mesir, Suriah dan Yaman merupakan perbuatan yang dzalim terhadap penguasa atau pemimpin negaranya yang secara sah diangkat dan dipilih oleh rakyatnya.
Sebagai sesama muslim kita sepatutnya kecewa dan prihatin atas eksekusi terhadap Muamar Khadafy, terlepas bagaimana tingkah dan tindak tanduk yang bersangkutan selama 42 tahun menjadi Presiden Libya, kita patut sesalkan terjadinya tindakan pendzaliman yang dilakukan oleh sebagian orang-orang terhadap kepala negaranya sendiri, padahal mereka adalah orang-orang muslim.
Tulisan ini sengaja diketengahkan untuk mengingatkan kepada sesama saudara muslim dinegeri yang mayoritas penduduknya beragama Islam, bahwa sebenarnya Islam memerintahkan kepada umatnya untuk taat tidak saja kepada Allah, Rasulullah tetapi juga taat kepada penguasa/pemimpin/pemerintah.Dan ketaatan kepada pemerintah ini merupakan salah satu prinsii yang agung dalam islam.
Allah Subhanahu Ta’ala telah memerintahkan kepada kaum muslimin untuk taat kepada penguasanya betapapun jelek dan dzalimnya mereka. Tentunya dengan syarat, selama para penguasa tersebut tidak menampakkan kekafiran yang juga memerintahkan agar kita bersabar menghadapi kedzaliman mereka dan tetap berjalan di atas sunnah.
Karena barangsiapa yang memisahkan diri dari jamaah dan memberontak kepada penguasanya maka matinya mati jahiliyyah. Yakni mati dalam keadaan bermaksiat kepada Allah seperti keadaan orang-orang jahiliyyah.1 (Lihat ucapan Al-Imam An-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim)
Dari Ibnu Abbas c, dia berkata: ”Rasulullah bersabda
“Barangsiapa yang melihat sesuatu yang tidak dia sukai dari penguasanya, maka bersabarlah! Karena barangsiapa yang memisahkan diri dari jamaah sejengkal saja, maka ia akan mati dalam keadaan mati jahiliyyah.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Wajib taat kepada pemimpin/pemerimntah walaupun jahat dan dzalim
Kewajiban taat kepada pemerintah ini, sebagaimana dijelaskan , adalah terhadap setiap penguasa, meskipun jahat, dzalim, atau melakukan banyak kejelekan dan kemaksiatan. Kita tetap bersabar mengharapkan pahala dari Allah dengan memberikan hak mereka, yaitu ketaatan walaupun mereka tidak memberikan hak kita.
Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud z, dia berkata: “Rasulullah bersabda :‘Akan muncul setelahku atsarah (orang-orang yang mengutamakan diri mereka sendiri dan tidak memberikan hak kepada orang yang berhak -red) dan perkara-perkara yang kalian ingkari’. Mereka (para shahabat -red) bertanya: ‘Apa yang engkau perintahkan kepada kami wahai Rasulullah?” Beliau berkata:
“Tunaikanlah kewajiban kalian kepada mereka dan mintalah hak kalian kepada Allah.”(Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim dalam Shahih keduanya)
Diriwayatkan pula dari ‘Adi bin Hatim z. Dia berkata: “Kami mengatakan: Wahai Rasulullaah kami tidak bertanya tentang ketaatan orang-orang yang takwa, tetapi orang yang berbuat begini dan begitu…(disebutkan kejelekan-kejelekan), maka Rasulullah bersabda :
‘Bertakwalah kepada Allah! Dengar dan taatlah!’ (Hasan lighairihi, diriwayatkan oleh Ibnu Abu ‘Ashim dalam As-Sunnah dan lain-lain. Lihat Al-Wardul Maqthuf, hal. 32)
Berkata Ibnu Taimiyyah rahimahulah : “Bahwasanya termasuk ilmu dan keadilan yang diperintahkan adalah sabar terhadap kedzaliman para penguasa dan kejahatan mereka, sebagaimana ini merupakan prinsip dari prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah dan sebagaimana diperintahkan oleh Rasulullah dalam hadits yang masyhur.” (Majmu’ Fatawa juz 28, hal. 179, cet. Maktabah Ibnu Taimiyyah Mesir)
Sedangkan menurut Al-Imam An-Nawawi t: “Kesimpulannya adalah sabar terhadap kedzaliman penguasa dan bahwasanya tidak gugur ketaatan dengan kedzaliman mereka.” (Syarah Shahih Muslim, 12/222, cet. Darul Fikr Beirut)
Berkata Ibnu Hajar: “Wajib berpegang dengan jamaah muslimin dan penguasa-penguasa mereka walaupun mereka bermaksiat.” (Fathul Bari Bi Syarhi Shahihil Bukhari
Meskipun penguasa tersebut cacat secara fisik, Rasulullah memerintahkan kita untuk tetap mendengar dan taat. Walaupun hukum asal dalam memilih pemimpin adalah laki-laki, dari Quraisy, berilmu, tidak cacat, dan seterusnya, namun jika seseorang yang tidak memenuhi kriteria tersebut telah berkuasa -apakah dengan pemilihan, kekuatan (kudeta), dan peperangan- maka ia adalah penguasa yang wajib ditaati dan dilarang memberontak kepadanya. Kecuali, jika mereka memerintahkan kepada kemaksiatan dan kesesatan, maka tidak perlu menaatinya (pada perkara tersebut, red) dengan tidak melepaskan diri dari jamaah.
Diriwayatkan dari Abu Dzar z bahwa dia berkata:
“Telah mewasiatkan kepadaku kekasihku agar aku mendengar dan taat walaupun yang berkuasa adalah bekas budak yang terpotong hidungnya (cacat)2” (Shahih, HR. Muslim dalam Shahih-nya, 3/467, cet. Daru Ihya-ut Turats Al-Arabi, Beirut. HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, hal. 54)
Juga diriwayatkan dari Suwaid bin Ghafalah z. Dia berkata: “Berkata kepadaku ‘Umar z: ‘Wahai Abu Umayyah, aku tidak tau apakah aku akan bertemu engkau lagi setelah tahun ini…, jika dijadikan amir (pemimpin) atas kalian seorang hamba dari Habasyah, terpotong hidungnya maka dengarlah dan taatlah! Jika dia memukulmu, sabarlah! Jika mengharamkan untukmu hakmu, sabarlah! Jika ingin sesuatu yang mengurangi agamamu, maka katakanlah aku mendengar dan taat pada darahku bukan pada agamaku, dan tetaplah kamu jangan memisahkan diri dari jamaah .
Beramar ma’ruf nahi munkar kepada Pemerintah
Allah adalah Dzat Yang Maha Adil. Dia akan memberikan kepada orang-orang yang beriman seorang pemimin yang arif dan bijaksana. Sebaliknya Dia akan menjadikan bagi rakyat yang durhaka seorang pemimpin yang dhalim.
Maka jika terjadi pada suatu masyarakat seorang pemimpin yang dhalim, sesungguhnya kedhaliman tersebut dimulai dari rakyatnya. Meskipun demikian apabila rakyat dipimpin oleh seorang penguasa yang melakukan kemaksiatan dan penyelisihan (terhadap syariat) yang tidak mengakibatkan dia kufur dan keluar dari Islam maka tetap wajib bagi rakyat untuk menasihati dengan cara yang sesuai dengan syariat.
Bukan dengan ucapan yang kasar lalu dilontarkan di tempat-tempat umum apalagi menyebarkan dan membuka aib pemerintah yang semua ini dapat menimbulkan fitnah yang lebih besar lagi dari permasalahan yang mereka tuntut.
Adapun dasar memberikan nasihat kepada pemerintah dengan sembunyi-sembunyi adalah hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :
“Barangsiapa yang hendak menasihati pemerintah dengan suatu perkara maka janganlah ia tampakkan di khalayak ramai. Akan tetapi hendaklah ia mengambil tangan penguasa (raja) dengan empat mata. Jika ia menerima maka itu (yang diinginkan) dan kalau tidak, maka sungguh ia telah menyampaikan nasihat kepadanya. Dosa bagi dia dan pahala baginya (orang yang menasihati).”
Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Ahmad, Al Khaitsami dalam Al Majma’ 5/229, Ibnu Abi Ashim dalam As Sunnah 2/522, Abu Nu’aim dalam Ma’rifatus Shahabah 2/121. Riwayat ini banyak yang mendukungnya sehingga hadits ini kedudukannya shahih bukan hasan apalagi dlaif sebagaimana sebagian ulama mengatakannya. Demikian keterangan Syaikh Abdullah bin Barjas bin Nashir Ali Abdul Karim (lihat Muamalatul Hukam fi Dlauil Kitab Was Sunnah halaman 54).
Dan Syaikh Al Albani menshahihkannya dalam Dzilalul Jannah fi Takhriji Sunnah 2/521-522. Hadits ini adalah pokok dasar dalam menasihati pemerintah. Orang yang menasihati jika sudah melaksanakan cara ini maka dia telah berlepas diri (dari dosa) dan pertanggungjawaban. Demikian dijelaskan oleh Syaikh Abdullah bin Barjas.
Bertolak dari hadits yang agung ini, para ulama Salaf berkata dan berbuat sesuai dengan kandungannya. Di antara mereka adalah Imam As Syaukani yang berkata : “Bagi orang-orang yang hendak menasihati imam (pemimpin) dalam beberapa masalah –lantaran pemimpin itu telah berbuat salah– seharusnya ia tidak menampakkan kata-kata yang jelek di depan khalayak ramai.
Tetapi sebagaimana dalam hadits di atas bahwa seorang tadi mengambil tangan imam dan berbicara empat mata dengannya kemudian menasihatinya tanpa merendahkan penguasa yang ditunjuk Allah. Kami telah menyebutkan pada awal kitab As Sair : Bahwasanya tidak boleh memberontak terhadap pemimpin walaupun kedhalimannya sampai puncak kedhaliman apapun, selama mereka menegakkan shalat dan tidak terlihat kekufuran yang nyata dari mereka. Hadits-hadits dalam masalah ini mutawatir.
Akan tetapi wajib bagi makmur (rakyat) mentaati imam (pemimpin) dalam ketaatan kepada Allah dan tidak mentaatinya dalam maksiat kepada Allah. Karena sesungguhnya tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (As Sailul Jarar 4/556)
Imam Tirmidzi membawakan sanadnya sampai ke Ziyad bin Kusaib Al Adawi. Beliau berkata : “Aku di samping Abu Bakrah berada di bawah mimbar Ibnu Amir. Sementara itu Ibnu Amir tengah berkhutbah dengan mengenakan pakaian tipis. Maka Abu Bilal[3] berkata : “Lihatlah pemimpin kita, dia memakai pakaian orang fasik.”
Lantas Abu Bakrah berkata : “Diam kamu! Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda : ‘Barangsiapa yang menghina (merendahkan) penguasa yang ditunjuk Allah di muka bumi maka Allah akan menghinakannya.’ ” (Sunan At Tirmidzi nomor 2224)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah menjelaskan tata cara menasihati seorang pemimpin sebagaimana yang dikatakan oleh Imam As Syaukani sampai pada perkataannya : “ … sesungguhnya menyelisihi pemimpin dalam perkara yang bukan prinsip dalam agama dengan terang-terangan dan mengingkarinya di perkumpulan-perkumpulan masjid, selebaran-selebaran, tempat-tempat kajian, dan sebagainya, itu semua sama sekali bukan tata cara menasihati. Oleh karena itu jangan engkau tertipu dengan orang yang melakukannya walaupun timbul dari niat yang baik. Hal itu menyelisihi cara Salafus Shalih yang harus diikuti. Semoga Allah memberi hidayah padamu.” (Maqasidul Islam halaman 395)
Diriwayatkan dari Usamah bin Zaid bahwasanya beliau ditanya : “Mengapa engkau tidak menghadap Utsman untuk menasihatinya?” Maka jawab beliau : “Apakah kalian berpendapat semua nasihatku kepadanya harus diperdengarkan kepada kalian? Demi Allah, sungguh aku telah menasihatinya hanya antara aku dan dia. Dan aku tidak ingin menjadi orang pertama yang membuka pintu (fitnah) ini.” (HR. Bukhari 6/330 dan 13/48 Fathul Bari dan Muslim dalam Shahih-nya 4/2290)
Syaikh Al Albani mengomentari riwayat ini dengan ucapannya : “Yang beliau (Usamah bin Zaid) maksudkan adalah (tidak melakukannya, pent.) terang-terangan di hadapan khalayak ramai dalam mengingkari pemerintah. Karena pengingkaran terang-terangan bisa berakibat yang sangat mengkhawatirkan. Sebagaimana pengingkaran secara terang-terangan kepada Utsman mengakibatkan kematian beliau
K h a t i m a h
Dari ulasan berdasarkan dalil yang shahih sebagaimana diungkapkan diatas, maka umat islam sebenarnya diperintahkan untuk taat kepada pemimpin dalam hal ini pemerintah dan seyogyanya tidak melakukan upaya-upaya untuk merongrong dan berusaha menjatuhkan pemimpin/pemerintah seperti melakukan demonstrasi serta menghujat pemimpin lagi-lagi melakukan pemberontakan sehingga pemimpin terdzalimi sebagaimana di Negara-negara Timur Tengah yang notabene penduduknya mayoritas islam . ( Walahu Ta’ala ‘alam )
Dalil dipetik/ diambil dari sumber : http://asysyariah.com
22 Oktober 2011
( Musni Japrie )
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar